Semenjak waktu hendak melepas baju masa lalunya, mungkin beberapa minggu ke depan, telah kusinggahi kediaman kemarau. Ruang yang hangat, menyalakan kenangan, serta curahan-curahan yang mulai kering.
Kiranya kemarau akan menyerap seluruh genangan yang selama ini enggan mengalir. Membiarkan angin meniup prahara yang tak kunjung usai.
Daun mengibaskan embun, kicau burung mengiringi tarian perdu, seperti hendak menampilkan hikayat cinta yang baru saja terangkai, dari untaian amnesia serta nektar yang terbawa lebah.
Mereka semua bergetar, bergoyang, menari di setiap pandangan. Menyusup di aorta dan tak mau pergi dari kepala.
Kini kemarau sudah berbenah, mengeringkan air mata, menutup kepedihan dengan debu, dan aku masuk dari ruang depan menuju ke belakang, seperti bumi mengantar pagi menuju senja.Â
Ijinkan kunikmati keagungan-Mu, dari mencintai dan menyayangi dalam setiap rumahmu. Musim yang mempersilahkan aku masuk di dalamnya, kemarau yang selalu mengokohkan syukur.
SINGOSARI, 14 Juni 2022
Puisi ini kubuat bersama alunan Der Einsame Hirte oleh Leo Rojas
Apapun musimnya, bersyukurlah kepada Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H