Sejak lama kusenandungkan rindu, seperti derit bambu yang bergesekan. Pohon randu yang sabar menegur hujan seharian. Gemertak gesekan batu jalan setapak. Serta bisikan dedaunan gugur di halaman yang gusar.
Ah airmata, mungkinkah rahim memanggilku? mana mungkin aku memaksa ibu dalam pesakitan saat melahirkanku?
Sedangkan teman-temanku mulai menanam biji senja. Dinding retak di masjid tempat mengaji telah dihuni rongga. Saat maghrib mengecup dahi Tuhan. Serta dongeng-dongeng purba bagi anak-anak yang bermain di kaki rembulan.
Selalu ada tanya saat pulang ke kampung. Mengapa harus ada do'a kepada Dia? Apakah Ibu melahirkan abu? Sehingga aku pulang tak mungkin berpaling?
Sejatinya kita hanyalah calon debu bagi hamparan detik yang dihembus musim, dan pulang adalah jarum jam yang kembali berputar sepanjang masa, bagi siapa saja.
SINGOSARI, 30 April 2022
Sumber gambar https://sukabumizone.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H