Bebatuan andesit membisu. Mereka berjajar sedang membekukan diri. Jutaan tahun lalu bumi telah melahirkan dari rahimnya yang berpijar. Tentu penuh prihatin. Penuh pengorbanan.
Seperti biasa ia sedang pening, memikirkan nasibnya yang cadas. "Memang begitu menjadi batu di desa Wadas," kata bebatuan andesit penuh bergas.
Kini, jutaan tahun dari perayaan ulang tahunnya, batu andesit tak mampu berkata. Bukan karena dibungkam mulutnya, sebab telah lama musyawarah dibatalkan. Banyak suaka yang pergi hijrah kepada penguasa.
Sebagai ibu angkatnya, Rakyat tak segan-segan membela. Lebih baik jadi batu andesit, hidup membatu ditengah-tengah kesuburan, daripada menjadi besi untuk mengepung warga desa.
Siang itu, besi menggeruduk dan mengepung warga desa, "Aku juga dari bumi, dari pasir besi yang dilahirkan bumi, harusnya kita bersaudara" kata popor senjata menyeru ke angkasa.
Batu andesit bungkam, Rakyat membelanya, "Lebih baik jadi batu bisu daripada jadi besi yang bernafsu."Â
SINGOSARI, 11 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H