"Sum, vaksin itu buatan luar negeri, itu belum tentu cocok untuk rakyat Indonesia."
"Mati urip wis ono sing ngatur Sum, wayahe mati lha yo mati." (Mati hidup seseorang sudah ada yang mengatur, waktunya mati ya mati)
"Nyatanya masih banyak yang terserang virus, harusnya segera disuntik semua penduduk Indonesia, lha apalagi warga dusun sini Sum"
"Wah kamu apa mau nyalon kepala desa to Sum? kok rajin mengunjungi warga dusun?"
Beragam tanya dan sanggahan menombak telinga Sumi. Meski hatinya masih bersemangat, tapi lama-lama luluh juga. Satu orang dikeroyok ratusan kepala keluarga tentu hal berat.Â
Apalagi ini tanpa embel-embel apapun. Ini pengorbanan di saat hari raya kurban. Ini hanya menjalankan wasiat Kang Mardi, hibur Sumi di saat azan zuhur berkumandang.
Ia berteduh di gardu pos dekat sebuah menara BTS yang memancarkan sinyal untuk ponsel ke seluruh dusun Wonosari, Wonotirto dan Wonodadi.
"Mungkin gara-gara menara BTS ini semua penduduk mendapat berita palsu dari kota" gumam Sumi seraya memandangi bagian kaki menara hingga ke puncaknya yang berkedip-kedip lampu merah seperti ambulan.
"Tapi kalau tanpa menara BTS ini, aku tak akan bisa menyimpan alamat makam Kang Mardi, dan aku tak bisa menjalankan wasiat Kang Mardi" buru-buru Sumi mengelak atas pernyataan sebelumnya.
"Aku harus tetap berjuang, meski hanya seekor anjing liar yang mau mendengar" gigih Sumi tak henti.
Sejam berlalu mendung masih gelap. Hujan masih lebat. Hawa dingin menusuk tubuh Sumi yang berbalut daster dan berkalung sarung milik almarhum suaminya. Ia mendekap dadanya sendiri mengusir gigil yang mencoba mengusiknya.