Sebelum sampai pada bukit berikutnya, Sumi sudah menduga hujan lebat akan turun. Ia tak mengerti apakah ini salah musim atau memang peringatan dari Tuhan.Â
Sebab di musim pandemi ini banyak orang masih bertarung dengan virus yang menular, tapi tiba-tiba saja hujan dan banjir terjadi dimana-mana bagaikan musim yang buru-buru bertamu menanyakan kabar kesedihan.
Sumi ragu hari ini harus berangkat ke dusun Wonotirto, dusun di balik bukit yang bersebelahan dengan dusun Wonosari. Ia masih ingat pesan almarhum suaminya yang bekerja di kota, bahwa orang di kota sudah banyak yang bersedia untuk vaksinasi.Â
Bahkan vaksinasi digelar di lapangan sepak bola, di aula kampus serta ada pula yang dilakukan dengan cara door to door atau mengunjungi rumah satu persatu. Berbekal wasiat suaminya itulah semangat Sumi yang semula kendor menjadi kencang kembali.
"Ini kan masih hari Tasyrik Sum, mbok besok-besok saja, lagipula apakah ada berita dusun ini mendapat jatah vaksin?" tanya mbah Sukarjo yang tak lain ayah Sumi sebelum anaknya semata wayang itu berangkat ke dusun sebelah.
Sumi tak menghiraukan saran bapaknya. Ia gigih ingin mengabarkan ke penduduk dusun bahwa ada vaksin untuk penduduk dusun.Â
"Sebentar lagi akan tiba di dusun ini, sebab di kota-kota sudah ramai dan mungkin akhir bulan sudah selesai" demikian yang dikatakan Sumi kepada warga yang dijumpainya.
"Kamu ini kok ngotot memberi kabar vaksin apa sudah menjadi pegawai puskesmas to Sum?" seorang pemuda yang seumuran sempat menanyakan kegusarannya.
"Aku tak mau warga dusun ini mati sebelum divaksin, ini pesan Kang Mardi suamiku sendiri mas" jelas Sumi menggebu-gebu. Hatinya selalu tertusuk pedih mengingat suaminya yang meninggal terserang virus.Â
Bahkan sampai hari ini ia belum mengunjungi makam suaminya. Satu-satunya pesan dari kerabatnya di kota bahwa Kang Mardi dimakamkan di pemakaman Keputih Surabaya. Pemakaman khusus untuk korban virus.