Selama puisiku masih ada, kuharap ada obat untuk ayahmu yang sakit. Semalam kuintip wajahmu masih gelisah. Berharap ayahmu sembuh. Tulang punggung keluarga jangan lagi meringkuk di balik selimut.
Memang puisiku masih sigap, kesana-kemari menghubungi ambulan. Namun sayang, semua ambulan masih di jalan. Padahal kata pemerintah semua telah disiapkan. Juga pilihan skenario, tapi entahlah mengapa memilih skenario terburuk.
Kemarin puisiku juga ikut mengantri. Bukan dari deretan mobil pribadi, tapi dari becak bermotor yang jarang pulang karena diusir kebutuhan.
"Siapa yang sakit bu?"
Seorang Ibu tak menjawab, ia hanya merangkul suaminya yang demam. Disampingnya terselip berkas-berkas dibungkus plastik untuk menebus obat, mungkin demikian harapannya.
Kubawa puisiku pulang. Melewati warung-warung yang segera tutup serta pengaduk kopi yang pikiranya larut bersama nasib.
"Apakah kau butuh obat juga?"
Pemilik warung menggeleng, baginya saat ini pembeli bukan lagi raja. Pembeli adalah obat bagi anak istri yang manjur, meski sulit didapat.
Aku baru ingat, setiap puisi berbeda kemanjurannya. Semoga puisiku tidak kadaluwarsa, sebab uji klinisnya masih tertunda.
SINGOSARI, 15 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H