Tiba-tiba saja kehidupanku berubah. Biasanya acuh terhadap tanaman dan ragam bunga di rumah, tapi kali ini timbul keinginan merawatnya. Bahkan mulai iseng ingin punya tanaman sendiri dan merawatnya sendiri.Â
Mulanya hal ini menjadi sesuatu yang aneh bagi istriku. Namun melihat ketekunan dan kegigihanku, akhirnya istriku terbiasa.
Aku ingin merawat kuntum mawar. Selain lebih mudah, ternyata mawar hanya butuh lokasi yang cerah, penyiraman rutin pagi dan siang. Benarkah? ternyata tidak demikian. Buktinya sudah dua kali ini aku mengalami kegagalan.
"Sudahlah mas, jangan menanam kuntum mawar lagi, nanti mati lagi seperti kemarin" sergah istriku.
"Ya namanya juga usaha dik, kalau tanam lagi" balasku seraya memindahkan kuntum mawar dari polibag ke pot yang baru.
"Merawat tanaman lainnya kan juga bisa, misalnya melati atau bunga mahkota" saran istriku.
Aku terdiam, hatiku masih yakin kali ini akan berhasil. Kulanjutkan menanam kuntum mawar ini. Sementara istriku hanya duduk sambil mengelus-elus perutnya.
"Apa sih mas menariknya bunga mawar?" tiba-tiba istriku menyodorkan pertanyaan.
"Gimana ya dik, cantik sih, seperti kamu" godaku.
"Gombal" balasnya.
"Habisnya gak ada yang cantik lagi di rumah ini selain kamu seorang"
"Maksud mas?"
"Oh, maaf dik"
Istriku tertunduk. Aku keceplosan. Memang tak ada yang cantik di rumah ini selain dia. Istriku telah lama mengidamkan anak perempuan. Namun rasanya jauh sulit.Â
Usia perkawinan sudah lima tahun. Belum ada tanda-tanda kehamilan. Terkadang memikirkan kehamilan seperti takdir yang tak memihak. Kalau pasangan lain bisa punya anak mengapa aku tidak?Â
Ah, lupakan saja. Istriku bangkit dan masuk kamar. Selalu begitu ketika aku keceplosan menyentil soal anak meski tak secara langsung.
-----*****-----
Selama seminggu merawat kuntum mawar belum nampak hasil yang menggembirakan. Padahal setiap pagi dan sore sudah rutin menyiramnya.Â
Berharap ada keajaiban bisa menumbuhkan bunga mawar. Namun, nampaknya sia-sia. Dua hari kemudian kuntum mawar itu mengering batangnya dan mati. Gagal lagi.
"Nah, mati lagi kan?" istriku buru-buru menilai.
"Ya dik, kenapa ya?" aku masih penasaran dan bingung dengan hal ini.
"Cobalah bicara dengan kuntum mawar mas" celetuk istriku.Â
Dahiku mengernyit. Sepertinya ide cerdas, meski agak tahayul menurutku.
"Apa mawar punya telinga?"
"Aku pernah dengar cerita bahwa tumbuhan bisa diajak bicara" imbuh istriku.
"Bicara?" kupegang dahi istriku. "Kamu waras dik?"
Istriku sewot, bibirnya manyun, "Coba dulu, namanya juga sama-sama ciptaan Tuhan."
Ciptaaan Tuhan? mendadak pikiranku seperti terhubung antara kondisi istriku yang selama ini belum pernah hamil dengan kuntum mawar. Sejenak sebuah tanya ada di benakku. Kembali lagi aku tertohok pada situasi bahwa takdir sepertinya tak memihak kepadaku. Ah, lupakan. Aku kembali menghibur diri.
Pada kuntum mawar yang baru kubeli dari pasar bunga coba kuturuti saran istri. Mulutku komat-kamit, "Wahai kuntum mawar, tumbuhlah bunga mawar yang indah, semoga kelak jika aku punya anak akan kunamakan Mawar."
"Amin" tiba-tiba istriku menyahut.
"Apa kamu mendengarnya dik" tanyaku.
"Nggak dengar. Tapi aku yakin pasti kau bicara tentang harapan"
Tak terasa dadaku bergetar, setitik air mata berlinang. Bibirku bergetar mengucap lirih, "Tumbuhlah Mawar cantikku, sudah lama aku menunggumu" sambil menahan dada yang semakin sesak.
-------- ***** -------
"Hooeeek" sebuah suara yang tak pernah kudengar dari istriku selama ini. Istriku mengira hanya masuk angin biasa. Belum sempat minyak kayu putih kusodorkan padanya kembali ia mual sambil memaksaku untuk memindah kuntum mawar.
"Hoeeek.....hoeeekk....., mas tolong pindah mawarmu itu ke belakang rumah, aku mual mencium baunya"
Mulai hari itu aku tak lagi merawat kuntum mawar di teras. Setidaknya meredam rasa mual istriku. Lagi pula halaman belakang rumah jarang kusinggahi, rumput liarnya sudah tinggi.Â
Tapi bukan itu perkaranya, halaman belakang rumah begitu rindang. Sehingga ketika menyirami kuntum mawar seringkali tanpa sengaja jemariku tertusuk duri. Padahal sudah sangat berhati-hati.
Suatu pagi istriku kembali menanyakan, "Gimana mas apa sudah berbunga mawarnya?"
Aku hanya menggeleng. Kutunjukkan dua jari yang membekas luka tusuk duri. Masih terasa perih saat digunakan untuk mengetik di keyboard laptop.
"Tertusuk duri ya?"
"Sangat perih" jawabku sambil meringis.
"Tapi mas masih memegang janji kan?"
"Janji?" mataku membelalak lalu mengangguk pelan.
"Kok ragu sih?"
"Ya..ya..masih"
"Kok sewot?"
-----*****-----
Saat tugas kantor menumpuk, tak terasa seminggu berlalu kuntum mawar jarang kusirami lagi. Sempat kubayangkan betapa rumput sudah tinggi, mungkin juga kuntum mawar itu sudah mati.Â
Ternyata tidak, saat kuluangkan waktu melihat kuntum mawar kondisinya masih segar. Mungkin karena beberapa hari ini gerimis mengguyur. Kucabuti beberap rumput kecil yang mengelilingi kuntum mawar, namun...
"Aduh kena lagi......ssssss perihnya" kali ini punggung telapak tangan yang tergores duri.Â
Aku segera balik ke rumah. Tak lagi menggubris kuntum mawar. Perlahan juga melupakan janji tentang bunga mawar. Demikian juga soal saran istriku bahwa kuntum mawar bisa diajak berbicara.
Bisa bicara? entahlah. Pikiranku penat, capek ingin tidur. Sebersit niat melintas. "Lupakan kuntum mawar! berbunga atau tidak terserah! Lupakan semua."
-----*****-----
"Lupakan?" tanya seorang bocah perempuan di halaman belakang.
"Ayah melupakanku?" bocah perempuan itu mengunlangi pertanyaannya.
Aku terkejut dan terbangun. Rupanya mimpi. Pagi menyambutku begitu cepat melunasi mimpi. Kulihat istri sudah tidak ada di atas tempat tidur. Bergegas kuberanjak ke halaman belakang. Membuktikan mimpi yang baru kualami.
Dari kejauhan nampak istriku sudah berdiri di halaman belakang rumah. Ia mual-mual di dekat kuntum mawar. Meski wajahnya pucat, namun ia tak beranjak dan masih berdiri menunggu. Bibirnya seolah memberi pertanda, antara menahan mual dan ingin tersenyum.
"Lihat testpack ini mas, aku hamil. Kau masih berjanji dengan kuntum mawar ini kan?"
Kutampar pipiku sendiri. Kucubit luka di punggung telapak tanganku. Aku tidak mimpi. Istriku hamil. Aku bengong sambil menatap telunjuk istri yang menunjukkan ada tunas kecil bakal bunga.
"Kau masih berjanji mas?" istriku mengulangi pertanyaannya.
Aku mengangguk pelan seolah tak percaya. Kusadari ada yang merayap dalam jiwaku, ada 'mawar' yang tertanam. Tuhan menitipkannya untuk kurawat. Tuhan lah yang meletakkan kemuliaan itu di kalbuku. Mungkin saat ini di dalam jiwaku mulai ada tunas mawar dan duri yang tajam. Meski selama ini yang kulihat hanya "duri".
Hampir saja aku kecewa dan tak menerima kenyataan. Bahkan, hampir saja aku enggan "menyirami" hal-hal baik yang sebenarnya telah ada, yaitu Mawar. Dialah anak perempuanku.
SINGOSARI, 14 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H