Bulan Agustus masih kurang beberapa minggu lagi, tapi hembusan angin dingin mulai menyergap serta menebar dingin. Di halaman angin juga mematahkan ranting kering serta beberapa batang ubi kayu. Angin ini terasa beringas. Menumbangkan apa saja yang diterjangnya.
Belum lagi suara atap dari seng yang saling memantul, seperti suara teror kasar dari seseorang. Seorang lelaki yang menyalakan bara amarah. "Sebaiknya kau memang tak usah kembali," tiba-tiba batin Sandra menggedor, mirip suara pantulan atap seng yang dipermainkan angin.
"Aku yakin, kau tidak akan ke sini, tidak akan" gumam Sandra seperti mempertegas perlawanan. Sandra telah kehabisan kata maaf. Ia tak kuasa lagi menahan amarah. Nafasnya tersengal seperti sesak yang mendera. Wajahnya memerah. Kepalan tangannya seperti tak mau terbuka. Bibirnya terkatup emosi.
"Sungguh jika kau kembali, aku akan menghantammu lebih kencang dari pusaran angin ribut." Kemarahan Sandra sepertinya lebih membadai ketimbang hembusan angin. Betapa ingatannya seperti angin topan yang berpusar meliuk-liuk di atas kepala.
Kepalanya masih terasa berat, akibat tinju seperti palu godam menghujam tadi pagi. Bagaimanapun juga perempuan tak akan kuasa menahan pukulan di kepala. Akibatnya, mata sayu Sandra bukan lagi tatapan teduh, melainkan sebuah tatapan dendam yang membuncah di ubun-ubun.
Perempuan yang biasanya hanya menangis di atas tempat tidur itu kini semakin berani. Tak hanya dengan seorang lelaki yang baru saja menjadi bosnya, tapi juga dengan Rendi, suaminya sendiri.
"Ternyata kau ini murahan" seru Rendi menusuk telinga Sandra. Lalu lelaki itu meninggalkan Sandra yang masih kusut menahan sakit. Mulutnya terus mengumpat. "Perempuan najis" umpat Rendi seraya menghidupkan sepeda motornya. Sandra membiarkan suaminya pergi. Mungkin begitu lebih baik menurutnya.
Rendi seperti terpukul saat mengetahui dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana Sandra begitu lemah dan terdiam saat diraba-raba tubuhnya oleh Johan, seorang bos pabrik garment yang sedang tenar bak sultan di televisi.
Sandra tak menyalahkan siapapun. Secara fisik tentu ia kalah tanding. Tapi ini bukan pertandingan menang atau kalah. Tak melawan bukan berarti lemas dan menyerah seketika. Mana mungkin ia bangkit memberi perlawanan jika pukulan telak itu mengenai kepalanya terlebih dahulu. Â
Maka saat Johan meraba tubuh Sandra sebenarnya yang membara amarahnya buka hanya Rendi, tapi seluruh lekuk-lekuk tubuh Sandra. Seluruh jiwa Sandra, dan seluruh batin Sandra. Harusnya Rendi tahu itu, tapi justru Sandra yang terluka tidak memperoleh perlindungan.
Kini, di dalam kamar yang semakin redup, angin malam masih belum lelah menghembus kencang. Pertengan bulan Juli yang tak terlupakan. Dimana berita-berita menyajikan serangan angin badai yang menumbangkan pohon-pohon serta merusak beberapa bangunan.