Aku hanyalah pohon cinta di halaman kamarmu.
Tiap pagi embun mengajakku singgah ke kamar itu.
Bertamu pada kabarmu yang masih sendiri.
"Mengapa dia masih sendiri?" tanyaku pada embun
"Masih banyak kenangan yang menutupi pintu kamarnya" bisik embun.
Benar saja,
Kau nampak menyedihkan.
Bahkan aku rela di tebang musim, demi menjadi perabot kamarmu.
"Penuhi saja laci-laci dengan kenanganmu" pintaku.
"Lalu lihatlah ke halaman, ingatkah saat kanak-kanak kita bermain ayunan?" kucoba memutar waktu.Â
"Oh ya aku ingat, tapi ke manakah pohon cinta itu?" balasmu bagai rintik kecewa.
Jawaban menghujam ke bumi bersama embun. Aku terlanjur menjadi perabot berdebu yang sebentar lagi lapuk. Mengapa waktu tak berpihak pada harapan dan kesendirian? sementara buah puisi yang mengering nampak khusyuk menziarahi akarku yang menjamur.
SINGOSARI, 10 Juni 2021
Puisi adalah merdeka, berjuang dengan kata melawan penjajah bising.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H