Sejak kemarin Gimun bingung memikirkan anaknya yang nakal. Anak satu-satunya itu tidak mau pulang. Alasannya sederhana, di rumah tidak ada kulkas, sehingga ketika haus tidak bisa minum air dingin. Gimun masih bingung cara mengatasi anaknya yang nakal itu. Segala hukuman sudah pernah diterapkan. Tapi anak itu tetap bengal. Kali ini malah tak mau pulang.
"Mbok ya dicari dulu di pos kamling Pak, siapa tahu Giono ada disana" saran Ginah saat mengetahui suaminya hanya merenung diatas lincak (semacam dipan dari bambu). Gimun tak menghiraukan pinta istrinya, menurutnya percuma mencari Giono kesana-kemari. Kenakalan Giono itu tak ada bedanya dengan istrinya, keduanya nakal. "Kalau anak baik-baik akan saya cari, tapi kalau anak nakal buat apa dicari?" gumam Gimun membenahi pikirannya yang ruwet.
Gimun tahu riwayat Ginah yang mantan pelacur itu. Perempuan di desa Watu Ireng memang melimpah, tapi rata-rata mereka bekerja sebagai PSK di lokalisasi. Mereka bukan perempuan asli desa Watu Ireng, mereka pendatang yang akan pulang ke asal ketika sudah tua. Hanya Gimun saja seorang lelaki yang sudi menikahi Ginah karena menuruti kemauan ibunya yang juga mantan pelacur. Kata ibunya, "Menolong pelacur juga mendapat pahala, sebab ia telah mengentas pelacur dari kemaksiatan." Gimun akhirnya menikahi Ginah yang saat itu sedang gila dan belum waras. Gimun tak ada urusan dengan kata-kata ibunya tentang pahala dan kemaksiatan. Besar di lokalisasi PSK memang tidak ada yang ditutup-tutupi.
Muasal Ginah mengalami depresi dan gila karena tak kuat menahan gejolak amarah. Ia sangat kecewa. Pasalnya sudah kerja siang malam melayani tamu tapi hutangnya kepada germo tak pernah lunas. Sewa kamar selalu minta tambahan, belum lagi tukang cuci sprei juga minta tambahan honor. Praktis Ginah hanya terima uang sekedar untuk beli bedak, pensil alis, lipstik, pembalut, nasi bungkus dan es teh dibungkus plastik kesukaannya. Lalu untuk sabun mandi, sabun cuci dan keperluan lainnya bagaimana? "Ya ngutang lah! kita ini hidup apa kata tamu, kalau ada tamu hutang dibayar, kalau sepi tamu ya ngutang lagi. Beres kan?" demikian para pelacur itu serentak menjawab soal nasib hidup.
Tak hanya itu saja, Ginah mendadak gila konon disebabkan oleh salah satu tamu yang menyebalkan. Dari sekian lelaki hidung belang yang rajin menjamah tubuhnya hanya Sukarman yang punya permintaan aneh-aneh. Bahkan pelacur lain tak sudi melayani Sukarman. "Dia itu lelaki bokek tapi gayanya kayak sultan. Mintanya aneh-aneh, yang beginilah yang begitulah, memangnya dia mau nambah duit berapa? Nggak sudi aku melayani dia" seru pelacur lain saat tahu Sukarman sedang hilir mudik mencari pengganti Ginah yang mendadak gila itu.
Kembali ke Ginah. Saat itu kondisinya sudah gila. Usia juga mulai mendekati kepala empat, tubuh tak terawat, rambut acak-acakan, bau badan menguar  dan tak ada tamu yang sudi memilihnya untuk melampiaskan syahwat. "Mana ada tamu yang mau sama pelacur gila" kata Sukarman saat itu.
Uniknya, setiap Ginah sendirian di kamar, Sukarman pura-pura lewat sambil melirik Ginah. Dada Sukarman diam-diam  merasakan getar yang selama ini belum ditemukan penawarnya. Sukarman jadi salah tingkah sendiri. Pernah salah satu pelacur memergoki Sukarman yang sedang mengintip Ginah dari balik dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Tapi bukan Sukarman jika tak pandai berkilah, "Ah, aku hanya ingin tahu, sebenarnya pelacur gila itu sama nggak ya dengan perempuan gila lainnya" kilahnya dengan santai.
Kini Ginah sudah menikah dengan Gimun seorang lelaki yang tak pernah sekolah gara-gara ibunya tak mampu menyekolahkan. Kamu percaya masih ada orang tua beralasan tak mampu menyekolahkan anaknya di saat sekolah gratis? Realitanya bukan itu alasan Gimun tak pernah sekolah. Sebenarnya Gimun adalah anak yang nakal, bandel dan suka hal-hal yang aneh-aneh, bisa dibilang menyukai klenik. Sementara ibunya dulu membesarkan Gimun di lingkungan lokalisasi PSK. Siapa yang sudi merawat anak nakal? jangankan tetangga, saudaranya di sebelah desa juga tak sudi. Sebab Gimun tidak jelas siapa bapaknya.
Namun, ada satu alasan yang selalu diingat oleh Gimun. Saat remaja ia pernah menanyakan siapa bapaknya. Ibunya hanya menjawab ketus, "Satu-satunya bapakmu yang saat ini tak banyak tingkah ya batu hitam di tepi sungai itu."
Gimun lantas mencari batu hitam di tepi sungai sebagaimana dimaksud ibunya. Sebuah batu besar yang permukaannya datar, rata seluas ranjang. Batu hitam itu teronggok diantara rerumputan yang tingginya selutut dan diramaikan oleh gemercik sungai.
Gimun memandangi batu hitam itu dan merasakan getaran yang belum pernah dirasakan. "Apakah benar ia bapakku?" bisiknya dalam hati. Sejak saat itu Gimun percaya dan mencari tahu ada apa dengan batu hitam di tepi sungai. Salah satu sesepuh desa pernah bercerita bahwa dulu pada puluhan tahun silam di tepi sungai sering dijadikan tempat pelacuran. Kini saat modern, lokasi pelacuran dipindah dan dibuatkan bangunan-bangunan semi permanen. Sebuah papan nama menandai pelacuran itu dengan nama "Lokalisasi PSK Watu Ireng"