Mei telah menghujani kenangan yang basah. Cintaku belum genap menumbuhkan kuncup, sedangkan kabut terbawa cahaya mentari.
Di depan hamparan hatimu, kemarau perlahan merontokkan sepi. Pertemuan menjadi telanjang. Bintang-bintang pulang ke awan. Bagaimana bisa mencium pelangimu jika hilang menjadi warna di seluas sentuhan jemariku?
Sekali lagi, aku dibesarkan gelisah. Suap demi suap hening telah kutelan. Kuracik sendiri duka ini sebagai minuman yang menyertai obat. Tapi, lambungku bukanlah tempat menyimpan kenangan.
Kujemur kenangan di tengah riuh waktu berdetak. Kusadari mengapa jarum jam dinding tak berbalik arah, sebab kau pun tak lagi searah.
Kini Juni sudah menggedor hatiku, pasti ia akan menawarkan tabah di sela-sela kesibukanku, yaitu menunggumu dari arah yang semakin purba.
SINGOSARI, 27 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H