Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Mau Merantau

20 Desember 2020   10:15 Diperbarui: 20 Desember 2020   14:54 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendekati akhir tahun seperti ini, kampungku mulai ramai oleh perantau. Warga kampung disini rata-rata merantau ke kota. Mereka akan pulang saat liburan panjang, salah satunya liburan akhir tahun. Lumayan, liburan seminggu sangat berarti bagi mereka.

Praktis selama 50 tahun lahir dan tinggal di kampung ini aku sangat paham peristiwa yang terjadi disini. Meski begitu aku senang mendengar teman-temanku bercerita tentang berbagai kejadian di kota yang jauh berbeda dengan di kampung. Toh, cerita apapun kejadian di kota tak membuatku beranjak merantau. Kampung ini sangat berarti bagiku.

Tidak menjadi perantau bukanlah sebuah kutukan. Juga tidak serta merta menjadi penjaga kampung yang tak berani kemana-mana.  Aku hanya ingin merawat rumah pusaka peninggalan leluhur. Sebuah rumah yang tak banyak berubah sejak ratusan tahun. Rumah keluarga yang ditinggal merantau. Untuk itulah aku bertahan tidak merantau.

Kini, jika rumah-rumah di tetangga sudah berubah bentuknya, lebih modern. Maka, di rumahku tak banyak yang berubah kecuali ada aliran listrik. Jika rumah lainnya sudah menggunakan saluran air PDAM, maka di rumahku masih bertahan dengan sumur bertimba untuk memenuhi kebutuhan air. Tak hanya itu saja, perubahan juga nampak pada kepribadian, gaya hidup serta peralatan yang digunakan.

Sepertinya apapun yang ada di kota dibawa ke kampung. Kalau pagi tiba, ada yang lari pagi dengan sepatu yang jarang kutemui di pasar. Ada pula yang jalan kaki sambil mendorong kereta dorong yang didalamnya ada bayi mereka. Mungkin lebih praktis dibanding menggendong penuh kehangatan. Kulihat juga ada yang bersepeda dengan rupa menawan lengkap dengan memakai helm sepeda. Sementara lapangan kampung masih sepi. Anak-anak tak berminat bermain di lapangan. Mereka baru ke lapangan saat ada kambing dan sapi yang merumput.

"Sapi....ini ada coklat, mau nggak?" kata anak-anak itu menawarkan jajanan ke sapi.
"Ini lo enak mbing, yogurt rasa buah" celoteh anak-anak lainnya di hadapan kambing.

Kalau anak-anak mereka tak pernah menggembala itu wajar-wajar saja. Hidup di kota memang tak ada istilah menggembala. Mereka lahir dengan istilah-istilah baru yang dicipta oleh lingkungan kota. Mereka pun asing dengan bahasa daerah orang tuanya sendiri. Sementara orang tua sepertinya terbiasa atau bahkan lebih bangga jika berkomunikasi dengan bahasa lain.

Saat bertemu dengan teman sepermainan, kurasakan perubahan cara pandang terhadap lingkungan kampung. Jika dulu kami bermain bola tak mengenal panas hujan, maka sekarang ketika anak-anak mereka bermain hujan-hujanan di halaman sontak mereka akan marah. Hujan seperti air langit yang jahat. Bisa membuat sakit, bisa membuat gigil dan yang menakutkan bisa membuat anak mereka hilang. Sedangkan kisah masa kecil mereka sendiri sudah kalah oleh suara derasnya hujan.

Jika dulu aku dan teman-temanku sering membantu ibu belanja ke pasar, maka saat ini para perantau hanya bermalas-malasan saja. Katanya semua bisa dipesan melalui ponsel. Padahal di pasar itulah saat kami masih kecil seperti jantung hiburan terbesar. Tempat kami bertemu, tempat kami mengenal berbagai barang, mencicipi berbagai makanan, serta tempat kami belajar berhitung.

"Apakah merantau menjadikan lupa dimana mereka berasal?" gumamku saat mendengar berbagai kisah kejadian di kota. Seringkali tanya dalam hati ini ingin kuungkapkan ketika berkumpul dengan mereka. Seperti saat liburan akhir tahun ini. Aku sudah tak tahan untuk mengungkapkan gelisahku.
"Kalau kita lupa asal-usul mestinya sudah tidak disini lagi Karjo, nyatanya kita masih bertemu disini kan?" ujar Robert yang nama aslinya Rokimin. Benar juga, semoga mereka benar-benar teringat asal-usul mereka. Biarpun saat ini rumah mereka bak istana megah di kampung, toh penghuninya hanya dua orang lanjut usia.

"Jo, apa kamu tidak kepingin merenovasi rumahmu?" tiba-tiba saja Robert melepaskan pertanyaan. Aku belum pernah membayangkan untuk merenovasi rumah. Lagipula itu rumah pusaka, mana aku berani mengubah tanpa persetujuan keluarga.
"Nggak berani Bert, rumah pusaka, nanti saja kalau sudah punya rumah sendiri" jawabku.
"Makanya kerja di kota Jo, buktinya kita semua. Kita semua berhasil, pasti kamu juga bisa kayak kita, ya nggak teman-teman?" saran Robert yang seketika diamini oleh lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun