Seorang penjual buah menjajakan dagangannya, aku mengira yang lewat adalah malaikat. Sebab menanam dan memanen buah hanyalah pekerjaan manusia. Sedangkan malaikat sibuk membesarkan buah, menambah rasa manis serta mewarnai kulit buah. Lalu siapa yang menjual? malaikat pembagi rejeki, demikian kata Tengku Haji.
Orang-orang tak berminat makan buah. Lorong perumahan yang tertata rapi itu seperti jajaran nisan tak bernama. Untung saja langit sedang terang. Rimba kota teramat jelas setelah pejabat membabat hutan menjadi pemukiman sementara. Harusnya buah-buahan tinggal beli, tak perlu susah payah menanam, menyirami dan memanen.
Azan dhuhur dan suara lagu sedih sama-sama bermukim. Bedanya azan mengunjungimu, sedangkan lagu sedih mengajakmu merenda senda. Biar hati riang seperti ayam berkotek. Hanya ribut, tapi dikandang belaka. Tak ada yang keluar rumah. Mereka memang sedang mengerami malas. Supaya tetap hangat.
"Buah-buah......., buah manis" suara penjual buah terus berdentang. Belilah sebiji saja setiap penjual keliling. Siapa tahu malaikat sedang menukar kebahagiaan dengan lembaran uang yang kau simpan di balik tumpukan kesedihan.
Sedangkan pengemis terkadang pura-pura memperbaiki nasibnya. Ia ingin makan buah tapi malaikat sudah memperingatkan "Jaga kunci surga, jangan sampai hilang atau tertukar dengan buah-buahan."
Maka, pada siang itu tetaplah tidak ada yang berubah. Buah dari surga tidak menarik. Azan dhuhur absen karena terik. Sedangkan kunci surga tetap berjalan menyusuri pelik. Para penghuni pemukiman sementara satu persatu mulai pindah ke kuburan. Pelayat menanyakan kepada setiap jenazah: "Apakah kamu sudah pegang kunci surga?" jenazah itu tak menjawab sampai diturunkan ke liang lahat.
SINGOSARI, 13 Desember 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H