Seorang tahanan koruptor terdiam di sudut sel. Sekotak penjara sempit yang memiliki satu pintu berteralis besi, satu kamar mandi, satu jamban, satu jendela, satu kasur, satu bantal dan satu selimut.
Setiap pagi sepiring nasi dengan lauk seadanya telah disantapnya. Nanti siang ia tak akan minta makan. Baginya tak ada gunanya makan tiga kali sehari. Sehingga perutnya tak buncit seperti saat pertama kali masuk sel. Apalagi wajahnya semakin tirus, lengannya lurus mengecil, dan dadanya semakin menonjol tulang rusuk. Memang begitulah di dalam sel, cukup bertelanjang dada menghalau bosan.
Sore hari barulah ia makan, dan seperti biasa lauknya juga seadanya. Kalau di dalam sel lauknya bervariasi layaknya depot makanan, aku jadi khawatir kamu akan ikutan masuk sel. Tapi, untuk masuk sel diperlukan kejahatan. Lalu proses peradilan yang menggiringmu dalam dekapan tersangka. Jika sudah begitu kamu lolos menjadi penghuni sel.
Untuk memiliki kejahatan juga tak perlu biaya mahal, cukup kamu rawat benih-benih jahat dalam hatimu. Berkawanlah dengan setan atau manusia-manusia yang berwatak setan. Sebab tak ada bedanya kamu berbuat jahat sendiri atau berkelompok, risikonya kamu sendiri yang menanggung.
Hanya itu modalnya? tentu ada satu lagi, yaitu jangan takut siapapun termasuk takut kepada Tuhan. Stop, aku tidak mengajarimu menjadi jahat. Aku juga tak ingin masuk sel. Bagaimanapun juga manusia memiliki benih jahat. Tinggal kita membesarkan kebaikan, ataukah justru menindih kebaikan dengan kejahatan. Semuanya kembali pada pilihanmu. Pepatah mengatakan dibalik-balik, ditelungkup ditelentang. Semua keputusan harus dipertimbangkan dengan matang bukan?
Begitulah pikiran Edi Prakoso saat memulai karirnya di pemerintahan. Tak ada manusia yang sempurna. Jangan takut salah dan selalu berani menerima tantangan. Luar biasa bukan? kelihatannya memang begitu. Batang kayu di hutan tak sama tinggi, sedangkan kayu di rimba bertinggi rendah, nasib setiap orang berbeda-beda. Bagaimana kita memperjuangkan nasib sendiri.Â
Nasib Edi Prakoso memang mujur. Belum genap lima tahun Edi Prakoso menjadi ajudan walikota. Sebuah pekerjaan yang tak dibayangkan sebelumnya. Mengawal serta menyiapkan apa saja keperluan walikota. Praktis ia sangat dekat, boleh dibilang masuk dalam ring satu. Prestasi itu terus melesat, sebelum masa jabatan walikota habis, Edi Prakoso melakukan lobi untuk jabatan.
"Kamu jadi kepala seksi dulu, nanti setelah tiga tahun bisa naik ke kepala bidang" pesan walikota saat berpamitan meninggalkan rumah dinas.
"Siap, petunjuk dilaksanakan" balas Edi Prakoso penuh sigap. Hati kecilnya bersorak kegirangan. Jabatan sudah didepan mata.
Bagi pegawai pemerintahan memiliki jabatan adalah strata yang bergengsi. Meski tunjangannya tak banyak selisih dengan staf pelaksana, namun keleluasaan memerintah serta berkumpul dengan sesama pejabat adalah bentuk pembeda yang selama ini banyak diincar.
Edi Prakoso pun demikian. Seusai pelantikan menjadi kepala seksi, ia mulai memiliki ruangan sendiri, meja sendiri dan kursi sendiri. Semuanya terpisah dengan ruangan staf pelaksana. Fasilitas kendaraan roda dua juga menunggunya. Tapi maaf, Edi Prakoso sepertinya tak berminat.
Ia lebih suka mengendarai kendaraan pribadi. Lebih gagah dan pantas, demikian kata hatinya. Meski kendaraan itu diperoleh dengan cara hutang ke bank dan menyisakan angsuran separuh gajinya. Lagipula bank juga senang menerima angsuran.
-----*****-----
Walikota telah berganti. Tak ada istilah mencari muka. Ganti walikota maka ganti pula kecondongan. Sebagai pegawai pemerintah loyalitas kepada pimpinan adalah syarat mutlak. Jangan mangkir, jangan melawan, dan melaksanakan segala perintahnya. Siapapun walikotanya harus dihormati, harus dipatuhi.
"Edi, berapa tahun jadi kepala seksi?" tanya walikota suatu hari.
"Siap, sudah tiga tahun" jawab Edi Prakoso bersemangat. Ini adalah salah satu lobi yang menentukan karirnya. Setiap loyalitas tak ada yang gratis. Ia ingin ada peningkatan dari karirnya. Benih-benih mulai disemai, jahat atau tidak itu urusan nanti.
"Coba ke bagian kepegawaian, bawa memo ini" perintah walikota.
"Siap, laksanakan" diterimanya memo dari walikota itu dengan bangga. Sebentar lagi aku akan menjabat kepala bidang, lalu sekretaris dinas, lalu kepala dinas. Benih-benih mulai diletakkan dalam media, apakah nanti dipupuk dan disirami itu urusan nanti.
-----*****-----
Pergantian walikota ketiga kalinya mengantarkan Edi Prakoso menjadi pejabat di pemerintahan. Tak ada yang tak mungkin di kehidupan. Begitu pula dalam pemerintahan. Mampu atau tidak dalam menjabat itu urusan nanti. Menjadi pemimpin bisa ditempuh melalui berbagai jalur. Bisa sekolah dulu sampai mendapatkan gelar. Bisa pula melalui negoisasi serta mendekatkan diri dalam setiap kesempatan.
Semua bisa diatur. Hujan dan kemarau silih bermusim. Edi Prakoso telah menjadi pejabat tertinggi di pemerintahan daerah. Ia menjadi sekretaris daerah. Butuh lima belas tahun untuk menempuh karir itu. Bukan waktu lama, juga bukan waktu singkat. Sebab ia pandai merawat benih hingga menjadi tunas dan cabang yang terus tumbuh berkembang.
Kesempatan tidak datang dua kali. Sebagaimana pepatah manusia tak ada yang sempurna. Edi Prakoso pun menjalani karirnya sebaik mungkin. Kesempatan yang datang dimanfaatkan dengan baik. Meski tak sempurna, ia terus mencoba mencari cara untuk menutupi segala kekurangan.
Beragam kesempatan datang. Kesempatan untuk memperoleh selisih nilai proyek. Kesempatan untuk bermain dalam perijinan serta kesempatan untuk mengumpulkan beragama upeti-upeti, namanya juga upeti, segala sesuatu yang tak resmi. Kalau resmi namanya pajak.
-----*****-----
Edi Prakoso telah berlari kencang. Usianya masih jauh dari pensiun. Ia meninggalkan pejabat-pejabat seangkatannya. Ia juga telah lebih dahulu merasakan liku-liku bersekongkol dengan berbagai pihak.
Ada uang semua jalan. Begitu prinsipnya. Ini bukan benih lagi. Ini sudah mulai berbunga mekar. Perkara darimana uang berasal itu urusan nanti. Tak ada pepatah yang mampu melukiskan perjalanan karirnya. Bukankah mendung tak selamanya hujan? ah, itu hanya pepatah.
Korupsi. Apa itu? entahlah. Kata pepatah, korupsi itu besar pasak daripada tiang. Jika hanya mengumpulkan pasak apa gunanya? bukankah tiang-tiang penerang lampu jalan bisa dimodifikasi? mungkin ketebalan besinya, mungkin catnya, atau mungkin desainnya. Semua bisa diatur. Bukankah bayang-bayang sepanjang badan?
Namun Edi Prakoso lupa, pepatah benih yang baik tak memilih tanah menjadikan dirinya salah dalam merawat bunga yang mekar. Ia tempatkan bunga mekar itu dalam sebuah vas bunga dari emas. Lalu dimasukkan dalam sangkar emas. "Jangan ada yang mencuri siasatku, jangan ada yang mencuri hartaku" gumamnya setiap hari. Air pun ada pasang surutnya. Bangkai gajah bolehkah ditudung nyiru? bukankah setiap kejahatan ada jejaknya?
-----*****-----
Edi Prakoso tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berita-berita menghiasi media cetak, media televisi dan tentu berita online di ponsel pintar. Menjalani hukuman adalah buah kejahatan. Kesakitan di belakang hari adalah penyesalan. Merenungi diri adalah kesendirian dari perjalanan. Di dalam sel, Edi Prakoso sering terdiam. Tak banyak jawaban yang ia sampaikan saat sipir atau penjaga sel menanyakan kondisinya.
"Apa kau memerlukan obat?" tanya sipir.
"Nggak" jawab Edi Prakoso.
Sang sipir berlalu. Ia menjumpai tahanan lainnya di sepanjang lorong sel yang dipenuhi penyesalan. Lorong gelap yang terang oleh senter sipir semata.
"Selamat malam" kata sebuah suara menyapa Edi Prakoso.
"Aku tak butuh obat" Edi Prakoso mengulangi jawaban seperti sebelumnya.
"Kau memang tak butuh obat. Aku tahu itu. Kau hanya butuh bercakap-cakap denganku. Itupun jika kau mau." papar suara itu. Mendengar itu Edi Prakoso hanya terdiam. Tak ada gerakan apapun dalam tubuhnya. Ia terlentang diatas kasur tanpa sprei.
"Kau mau sayap? nanti kau bisa terbang bebas" tanya suara itu. Edi Prakoso tak merespon. Ia tetap diam.
"Kau mau menjadi kunang-kunang yang bisa menerangi lorong gelap ini? kata suara itu melontarkan tanya lainnya.
"Atau......kau mau menjadi malaikat pencabut nyawa?" tanya suara itu lagi.
Edi Prakoso sebenarnya enggan menjawab, tapi mendengar penawaran suara itu hatinya gelisah. Menjadi malaikat pencabut nyawa?
"Nggak...nggak. Aku nggak mau berurusan dengan nyawa" tolak Edi Prakoso.
"Apa kau takut mati, lalu jenazahmu di kubur di belakang penjara?" suara itu mencoba menakuti.
"Aku masih berdegup jantung, aku masih bernafas dengan paru-paruku. Pergilah!" usir Edi Prakoso.
"Baiklah, jika tiba-tiba kau melihat tubuhmu sendiri dan mampu menembus sel sebelah, sebaiknya kau tak perlu cemas. Biasa saja" kata suara itu.
"Aku tak pernah mencemaskan apapun, hingga kini" balas Edi Prakoso.
"Apa kau tak keberatan melayang bersamaku?" suara itu semakin berat terdengar. Seperti serak tapi penuh kepastian.
"Aku tak mau melayang dengan siapapun. Pergi sana! melayanglah bersama jenazah lainnya" sergah Edi Prakoso.
Keesokan hari sebuah headline berita tertulis: "Tahanan Koruptor Mati Dalam Sel, Tak Ditemukan Bekas Penganiayaan"
Bagai pepatah: Gajah mati meninggalkan gading, koruptor mati meninggalkan rekening. Untuk apa susah-susah mengisi rekening jika akhirnya kurus kering?
SINGOSARI, 13 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H