Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baliho

23 November 2020   22:34 Diperbarui: 24 November 2020   17:56 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://andaranews.com

Lelaki itu mengerang tak karuan. Diselingi tawa binal perempuan. Aku sendiri bingung apa yang terjadi dibawah sana. Semoga mereka tidak melukai kakiku. Tapi ternyata tidak! mereka mengencingi kakiku. Air hangat beraroma pesing itu membuat gatal kakiku. Rasanya ingin menendang mereka sejauh-jauhnya. Kurang ajar!.
-----*****-----
Esok hari, orang beramai-ramai memenuhi jalanan. Aku tak tahu ada apa ini. Jalanan menjadi macet. Apa yang terjadi? Banyak orang yang mengumpat karena terlambat. Banyak orang yang sekilas memandangku dengan sinis. Aku jadi salah tingkah. Apa dosaku?

Tuhan, jika begini jadinya aku ingin menjadi baner atau spanduk saja. Untuk apa punya tubuh gagah tapi malah membuat orang memandangku terbelah-belah? sampai kapan aku berserah? aku hanya bisa pasrah.

Sepertinya Tuhan menjawab do'aku. Menjelang senja, perempuan itu datang lagi. Ia memandangiku seperti kemarin. Lalu bertanya: "Masih tetep nggak doyan nih?"

Aku heran, apanya yang nggak doyan? dasar perempuan gila. Kupikir perempuan itu akan menolongku, ternyata hanya menggoda belaka. Ia malah berjoget lagi seperti kemarin. Membelakangiku dan menawarkan diri pada lelaki yang melintas.

Saat petang menjelma malam. Tiba-tiba dari arah utara muncullah iring-iringan kendaraan dengan lampu strobo mendekatiku. Sontak perempuan itu lari terbirit-birit menyelamatkan diri. "Waduh ada operasi, lari...!!"

Aku tertawa lepas, sampai tak sadar tubuhku terlepas dari serangkaian bambu yang menjadi kerangka tubuh. Beberapa orang melucuti seluruh tubuhku. Ia menggulungku, melipatku, serta membawaku pergi beserta kenangan tatapan kagum dan sinis. "Apakah tugasku sudah usai?" gumamku lirih tak berdaya.


"Kapan dibakar?" tanya salah seorang.
"Siap besok pagi Ndan" jawab seorang lainnya.

Sebelum asap bau terbakar membumbung ke langit, kusadari betapa beruntungnya aku yang lahir dari rahim mesin cetak warna dengan ukuran besar, bukan dari rahim perempuan itu.

SINGOSARI, 23 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun