Salah satu temanku SMA, sebut saja Fitri yang juga mantan kekasihku, ternyata juga memiliki banyak cerita. Salah satu cerita yang mengganggu pikiranku adalah ia menjadi penulis berdasarkan cerita dari isi kepala manusia. Lebih tepatnya Fitri mampu melihat segala isi cerita yang ada di kepala manusia.
"Ya gimana ya, seperti nonton bioskop aja" kata Fitri menceritakan bagaimana ia bisa membaca cerita yang ada di kepala manusia.
Salah satu cerita yang ia rangkum berasal dari isi kepalaku. Fitri bukan peramal, ia bukan nujum yang menebak apa saja isi kepalaku. Ia hanya penulis novel. Ia kini menjadi penulis terkenal yang memiliki keahlian menggali aneka cerita dari isi kepala manusia yang dijumpainya. Banyak karya novelnya diburu pembaca. Termasuk aku sendiri.
"Baiklah, kamu sudah tahu isi kepalaku, kamu juga tahu bagaimana saat kita sekolah di SMA dulu. Aku hanya ingin tidak semua cerita dari kepalaku tertuang dalam novelmu" pesanku pada Fitri disela-sela menikmati kudapan reuni.
"Aku tahu mana yang baik, mana yang bermanfaat, mana yang bisa menjadi pelajaran, tenang saja" jawab Fitri seolah meyakinkan keinginanku.
"Satu lagi Fit, tolong sebelum terbit novelmu, ijinkan aku untuk membacanya dulu" pintaku.
"Oke siapa takut, deal ya?" pungkasnya seraya mengajakku bersalaman tanda sepakat.
-----*****-----
Sepulang dari acara reuni tubuhku kembali demam. Tubuhku menggigil di kamar. Istriku telah mengompres keningku. Katanya suhu tubuhku meroket 40 derajat selsius. Istriku menghubungi dokter keluarga untuk memeriksa sakitku. Dokter keluarga memberi rujukan agar aku dirawat di rumah sakit terdekat. Berdasarkan diagnosa sementara, aku terserang typus.
Tetangga bergantian datang menjengukku. Ada yang datang sendirian, ada yang datang bersama tetangga lainnya. Seperti biasa mereka bercerita tentang kejadian sakit yang persis kualami serta memuji-muji rumah sakit yang memberi layanan terbaik. Usut punya usut ternyata pujian itu berkaitan dengan salah satu dokter yang masih saudara dengan tetangga.
Saat tetangga itu berkerumun di sekitar ranjang tempatku berbaring, ada hal aneh yang kulihat diatas kepala mereka. Ada semacam slide transparan tipis yang berisi cerita. Selanjutnya kusebut sebagai Slide cerita. Slide cerita itu berganti sendiri beberapa menit kemudian. Seolah-olah slide cerita itu ingin dibaca tuntas halaman demi halaman.
-----*****-----
Sejak sembuh dari sakit, aku merasa memiliki penglihatan yang tak dimiliki orang lain. Aku bisa melihat slide cerita lawan bicaraku. Apakah ia berbohong atau jujur aku sudah tahu duluan. Bahkan, diam-diam aku juga sering membaca slide cerita di atas kepala orang yang tertidur di perjalanan saat naik bus, naik kereta api atau ketiduran saat menunggu. Tentu slide cerita yang berkaitan dengan mimpi-mimpi mereka.
Aku juga pernah mencoba hadir dalam suatu peradilan. Kulihat disana cerita-cerita yang tak terungkap. Semua tak sesuai seperti yang tertulis dalam slide cerita diatas kepala terdakwa. Jika terdakwa itu berbohong, maka slide cerita dengan huruf berwarna-warni itu akan turun dan menggumpal di lehernya. Slide cerita itu seolah ingin menekan masuk dalam kerongkongan dan bersuara jujur melalui pita suara terdakwa.
Saking banyaknya kebohongan, slide cerita yang menggumpal dileher itu mampu menjadi penyangga dagu terdakwa. Aku baru paham mengapa terdakwa yang terlihat tegar dengan kepala tegak seolah-olah bersih dari dakwaan, dan bisa ditebak, peradilan itu membebaskan terdakwa dari segala dakwaan. Selanjutnya ia berkeliaran dengan dosa yang telah dipalu bebas diatas meja hakim.
-----*****-----
Suatu ketika Fitri datang mengunjungiku, ia menyerahkan novel lanjutan tentang kisah teman SMA. Ia merangkum berdasarkan pertemuan saat reuni beberapa waktu lalu. Dalam novel itu diceritakan berbagai kisah, salah satunya tentang diriku yang akan menjadi penulis hebat.
Sebenarnya aku kurang sreg dengan kisah itu. Selain sifatnya futurisme atau tentang masa depanku, aku tak melihat apapun diatas kepala Fitri seperti saat reuni. Aku tak melihat slide cerita diatas kepala Fitri, kosong.
"Maaf, kamu pernah bilang menulis cerita berdasarkan isi kepala seseorang. Tapi, novelmu yang ini sepertinya melenceng dari cerita kepala seseorang, apakah kamu sudah kehabisan cerita?" tanyaku.
"Bagaimana kau bisa tahu? bukankah aku menulis seperti novel sebelumnya?" Fitri malah bertanya balik.
"Maaf Fit, aku tak melihat cerita apapun diatas kepalamu" tiba-tiba aku nyeletuk begitu saja tak terkontrol.
"Kau bisa melihat cerita diatas kepalaku? sungguh?" Fitri keheranan dan memegangi kepalanya.
"Oh, eh, tidak Fit, bukan begitu maksudku....." aku tergagap-gagap menjawab keheranan Fitri.
"Nah, itu ada slide cerita berhuruf warna-warni diatas kepalamu, kamu bohong ya?" balas Fitri mengobrak-abrik rahasiaku.
-----*****-----
Sejak pertemuan dengan Fitri, aku enggan bicara banyak, lagi pula ia akan tahu mana yang baik, mana yang bermanfaat, mana yang bisa menjadi pelajaran. Aku tak mau berbohong seperti terdakwa di pengadilan yang dagunya terangkat penuh percaya diri tapi ternyata menanggung dosa tak berkesudahan.
Bahkan aku selalu menghindar saat Fitri mengajakku bertemu. Tapi, rupanya Fitri terus menghubungi baik melalui ponsel, melalui pesan WA dan atau melalui media sosial. Aku malas, ujung-ujungnya pasti ia akan menjadikan cerita diatas kepalaku sebagai bahan novelnya.