Ada sebait puisi yang kudekap didada. Sebab sepi hendak menerkamnya. Malam telah berbaju gulita. Menyemai kabut bertunas bayangan masa lalu.Â
Cahaya rembulan merindukan konsonan yang lengang. Bahkan, kegaduhan sudah pada titik nadir terendah. Percakapan membatu diantara hilir mudik orang-orang. Ode-ode melahirkan rapal dalam batin.
Aku masih bertahan. Apalagi hujan sempat meringkas api serta redupnya lampu jalanan menjadi kerlip yang gemericik.
Angin berdiam. Di sela-sela gigil yang terdampar di ujung cemara. Semua enggan berbisik. Hanya pokok melati yang sengaja melepas kelopaknya.
Kucoba mengingat kembali. Sebait puisi yang bersemayam. Semoga sekali lafaz terucap, kelembutan hati segera berbaring ringan didekap keheningan.
SINGOSARI, 3 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H