Ibu menyangrai kopi dalam rindunya yang teraduk-aduk. Menghitam seperti kenangan pahit yang tak pernah diceritakan sejak aku rebahan dalam rahimnya.
Begitulah perkiraanku tentang langit diatas rumah. Ada asap yang mengepul berbau kopi dan bermuhibah di sebuah warung dekat kontrakan.
"Bu, kopi satu, nggak pakai gula."
"Maaf nak, kalau merantau kenanglah yang manis agar tidak kesepian."
Aku hanya mengaduk senyum melihat ibu itu menasehati diri sendiri. Betapa banyak dari kita tak mampu menjawab mengapa harus merantau?
Sedangkan surga diam-diam menjadi tua, telapak kakinya lemah menjejak dan ubannya seperti belukar.
"Ibu bisa saja, apakah ibu punya anak yang merantau seperti saya?"
Diam-diam hening mulai mengantri masuk warung kopi. Ibu itu tak menjawab tanyaku. Tapi, perlahan aku bisa mendengar ceritanya melalui alunan denting sendok dan gelas yang bergesekan, mengaduk perantau dalam pusaran yang kencang.
Saat kuseduh kopi buatannya, kurasakan rindu ibu di desa mendidih menjilati lidahku yang menahan tangis.
"Permisi saya tidak jadi minum kopi, mau pamit mudik"
"Terpujilah kau perantau yang menyerahkan duka pada kata-kata"
Seketika asap berbau kopi menjadi awan menggumpal dan gerimis mulai turun di pipiku.
SINGOSARI, 28 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H