Belum lagi selama kuliah aku juga dibelikan mobil baru sebagai sarana pulang pergi dari kontrakan ke kampus. Oh ya, sekalian antar jemput Yulia pacarku yang kuliah di psikologi. Ia ingin mengimbangi kemampuanku dalam bidang kejiwaan. Suatu pasangan yang saling melengkapi menurutku.
Maka, usai menempuh pendidikan dan mulai bekerja di instansi masing-masing, aku dan Yulia mulai merencanakan pernikahan. Aku tak mau kehilangan Yulia, demikian pula Yulia. Kami saling memahami, saling mencintai dan saling melengkapi kekurangan yang ada.
Resepsi besar-besaran digelar. Relasi bapak sebagai anggota dewan sangatlah erat dengan para pejabat. Demikian pula relasi mertua yang berprofesi sebagai kontraktor besar dengan proyek miliaran rupiah. Pernikahan kami bahkan ditayangkan di televisi nasional sebagai pernikahan termegah tahun ini.
-----*****-----
Aku terus menapaki karir. Menjadi dokter jiwa yang diperhitungkan. Istriku begitu pula, ia psikolog yang menangani banyak pasien. Semakin dewasa kompetensi kami semakin dibutuhkan. Aku telah dikukuhkan menjadi ahli medis kejiwaan atau psikiater, sedangkan istriku menjadi psikolog di sebuah perusahaan sumberdaya manusia. Kami berdua menjadi sepasang yang terkenal dan ahli dalam kejiwaan walau berbeda sedikit jalurnya.
Sampai pada suatu hari kami harus menyelesaikan suatu masalah pelik. Bapak terjerat kasus korupsi. Negara mengalami kerugian puluhan mliyar rupiah. Bapak diduga telah melakukan rekayasa atau mark up proyek sejak menjabat pada periode kedua. Kini bapak sudah menjabat di periode ketiga, lima belas tahun lamanya menjadi anggota dewan.
Namun rupa-rupanya bapak terinspirasi oleh perilaku sakit-sakitan yang pernah diperankan oleh pejabat negeri ini. Hingga akhirnya bapak beralih menjadi depresi lalu kini menjadi gila. Lengkap sudah, aku sendiri tak tahu ini kenyataan atau hanya pura-pura.
Ibu cemas sekaligus kurus memikirkan bapak yang mengalami gangguan jiwa itu. Ia tak tega melihat suaminya tertawa sendiri, telanjang dada berlari-lari di jalanan.
-----*****-----
"Kini semuanya sudah aman Farhan" bisik bapak suatu pagi.
"Aman gimana pak? bukankah setelah ini aku masih menghadapi dewan etika kedokteran?" aku balik bertanya.
"Paling tidak dengan surat keterangan itu bapak akan bebas dari segala dakwaan. Tak sia-sia aku mengumpulkan uang untuk kuliahmu dulu" jelas bapak.
"Jadi?....." tanyaku kembali penuh rasa ingin tahu. Ini pasti saran kakak yang saat ini menjadi pengacara kondang.
"Ya, bapak sudah merencanakan ini semua sejak kamu duduk kelas 2 SMA" balas bapak.
"Jika demikian, aku berdosa pak, bapak juga berdosa" pekikku kecewa. Aku ingin berkata pula bahwa kakak juga berdosa, tapi bapak buru-buru memotong niatanku.