"Pokoknya kamu nanti harus kuliah di kedokteran" pinta bapak berulangkali. Padahal aku masih kelas 2 SMA. Lagipula sebenarnya aku ingin kuliah di jurusan farmasi. Entah mengapa bapak demikian bersikeras agar aku kuliah di kedokteran.
"Kamu harus ikut bimbingan belajar, agar mudah mengerjakan soal-soal kedokteran" yang ini saran dari ibu. Sebenarnya ibu hanya ikut-ikutan saja. Buktinya saat aku ikut bimbingan belajar murahan ibu hanya manggut-manggut saja.
"Loh kamu ini gimana, sudah tahu itu bimbingan belajar murahan, mana bisa nanti mengerjakan soal kedokteran?" kakakku keheranan. Ia ingin melapor hal ini kepada bapak. Kata kakak, bapak siap membayar berapapun biaya bimbingan belajar yang bagus. Supaya nanti bisa mengerjakan soal-soal kedokteran. Kakakku sekarang menjadi pengacara ternama. Ia tak ingin adiknya salah memilih bimbingan belajar. Kalau bisa bimbingan belajar yang sama dengan dirinya dulu.
"Semua bimbingan belajar itu sama Farhan, yang membedakan hanyalah semangat belajarmu saat dibimbing tentor" kata guru Matematika di sekolah. Namanya Bu Suci. Malahan Bu Suci balik menawariku agar ikut bimbingan di rumahnya, cukup dua ratus ribu sebulan saja.
"Sayang, kamu bimbingan belajar sama aku saja ya? apa kamu tega anak-anak sekolah lain menggodaku?" kata Yulia saat aku curhat kepadanya. Yulia ini pacarku sejak kelas 1 SMA. Awalnya aku tidak suka dengannya. Sebab suka mengatur. Tapi karena aku sering ditraktir, maka pikiranku menjadi berubah. Egoisme dan malu sudah kugantung tinggi-tinggi di pohon beringin sekolah, tempat dimana aku berteduh dan jadian dengan Yulia.
"Den, aden Farhan, ini makanannya. Bibi buatkan yang terbaik buat aden Farhan, susunya jangan lupa diminum supaya aden bisa jadi dokter dan bibi bisa berobat ke aden" kata bibi Minah. Entah darimana ia tahu aku akan menjadi mahasiswa kedokteran. Mungkin ibu sering cerita tentang keinginan bapak agar aku bisa kuliah kedokteran dan menjadi dokter.
"Kalau aku sih ok-ok saja Han, aku yakin kamu bisa. Lha kalau aku ya mana bisa? pintar enggak, berduit juga enggak. Ya sudah wassalam saja. Mau jadi apa lihat saja nanti" kata Arif tetanggaku yang suka main ke rumah sekedar main gitar. Ia pernah cerita jika suatu hari nanti tak bisa kuliah akan langsung kerja. Kalau sulit mendapat pekerjaan sementara ngamen di kota.
"Kakek senang punya cucu pengacara. Lebih senang lagi punya cucu dokter. Jadi turuti nasehat bapakmu. Dulu kakek hanya berharap bapakmu jadi PNS, tapi nyatanya sekarang malah jadi politikus. Jadi anggota dewan. Kamu harus jadi dokter...Farhan" bisik kakek saat kudorong kursi rodanya menuju makam nenek.
-----*****-----
"Alhamdulillah aku diterima di kedokteran bapak" pekikku gembira saat melihat bapak keluar dari ruangan kerja.
"Kau memang anak bapak Farhan. Ayo ikut bapak, akan kubelikan kamu laptop yang tercanggih supaya bisa kamu gunakan kuliah nanti" ajak bapak sambil menggandeng tanganku.
"Nanti sore aja pak, ini kan masih jam kerja" elakku dengan bijak.
"Haisss, sok tahu kamu ini. Kamu ini dokter, jangan ngurusi jam kerja bapak, ayo berangkat" bapak setengah menyeretku.
-----*****-----
Aku telah lulus kuliah kedokteran. Atas saran bapak pula aku melanjutkan pendidikan profesi kedokteran jiwa. Sampai disini aku tak pernah mengecewakan bapak. Padahal aku sendiri tahu bahwa uang yang digunakan untuk pendidikanku sangat besar. Mungkin sudah ratusan juta atau bahkan lebih.