Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Lelaki yang Meraut Lapar

17 Oktober 2020   08:15 Diperbarui: 17 Oktober 2020   23:03 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cdn.rakyatku.com

Setiap petang lelaki itu meraut lapar hingga runcing. Dimasukkannya lapar kedalam saku sebagai kenangan yang tak tertulis. Ia berjalan mengikuti perginya malam. Sekedar ingin mendengar cerita tentang kopi pahit di ujung kota.

Saat ini agak muram, lampu kota sedang lebam. Tubuhnya bengkok dihantam batu demonstran tadi siang. Ini peristiwa kelam bagi jalanan.

"Oh ya, tak ada yang lebih jalanan dibandingkan dirimu" kata malam menghibur lampu kota.
"Bukan, bukan aku malam. Kau memang rajin mengitari kota ini, tapi lelaki itulah yang lebih jalanan dibanding nasibnya" jelas lampu kota.

Malam menitikkan gerimis saat lampu kota mengerang kesakitan. "Pergilah, aku baik-baik saja. Besok penguasa kota akan segera menggantiku dengan yang baru" kata lampu kota menghibur diri.

Seperti sahabat karib, malam terus mengajak lelaki itu melihat-lihat deretan pedagang makanan. Mereka menyajikan menu rakyat seperti yang didengungkan demonstran tadi siang. "Lawan.....lawan.....lawan...." kata demonstran.

Mengingat peristiwa tadi siang, lelaki itu terkekeh. Ia menyahut lirih ajakan demonstran, "Lapar......lapar.....lapar." 

Lelaki itu baru pulang saat laparnya minta diraut kembali. "Pak ini sudah dinihari" kata lapar. Saat itu semua do'a terkabul, kumpulan sedekah makanan telah terkumpul dari sisa penggorengan. Malam telah berpamitan bersama fonasi kereta api pagi. Meninggalkan lelaki yang berjuang melawan kantuknya.

SINGOSARI, 17 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun