Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tukar Nasib

8 Oktober 2020   22:19 Diperbarui: 11 Oktober 2020   11:05 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          "Aku juga bersedia jadi temanmu" jawab Karman buru-buru. Lalu keduanya saling berpandangan dan kembali tertawa bersamaan. Malam itu bulan masih sabit, suara anjing mengonggong tiada henti. Seolah menjadi saksi pertemanan dua makhluk yang berbeda.

----------**********----------

Izazil tinggal di sebuah bukit yang pernah menjadi tempat pembuangan para pemberontak. Dulu pemberontak itu menyerang berbagai tempat ibadah di desa itu. Pemberontak yang tak percaya Tuhan itu ingin hidup bebas tanpa ada aturan yang mengekang. Sehingga tragedi konflik tak terhindarkan. Sesama penduduk saling membunuh. Hingga datanglah bantuan dari militer provinsi untuk menumpas para pemberontak. Mayat-mayat pemberontak ditumpuk begitu saja di bukit itu, termasuk kakeknya Karman.

Namun, Karman tidak ingin menjadi penerus ajaran kakeknya. Orang tua Karman mendidiknya dengan religius. Karman sendiri selalu berjanji dalam hatinya, "Kakek adalah masa lalu, sedangkan aku masa kini dan bukan penerus kakek."

Berhasilkah?
Setidaknya selama Karman masih kanak-kanak hingga remaja, keteguhan hati Karman untuk tidak ingin menjadi penerus kakeknya masih dipegang erat. Waktu terus berputar, dan hati Karman mulai goyah tatkala ayahnya ditangkap polisi karena terbukti menyalahgunakan alokasi dana desa (ADD).

          "Ternyata orang yang selama ini kuhormati nyatanya malah memalukan keluarga, jadi apa gunanya dulu ia mengajariku menjadi orang yang religius?" bisik Karman setengah marah. Ia mengumpat dalam hatinya. Kecewa tapi tak mampu menumpahkannya.

          "Ya begitulah manusia, diberi seratus ribu, masih ingin lima ratus ribu" bisik Izazil.

          "Hai, kapan kau datang, sini masuk ke kamar" ajak Karman saat mengetahui Izazil tiba-tiba di sampingnya. Entah mengapa ketika Izazil datang hati Karman seperti lega.

          "Ok, ok. Kau tak perlu gundah seperti itu teman, aku masih banyak punya cerita tentang keserakahan manusia. Padahal, ia sangat religius" Izazil terus meyakinkan Karman tentang kesalahan-kesalahan manusia.

          "Duduklah, aku juga mau cerita tentang pacarku" pinta Karman sambil duduk di dalam ruangan yang cukup luas untuk seukuran rumah di desa. Maklum, ayah Karman adalah kepala desa yang kharismatik. Bukan hanya karena religiusnya, namun juga karena banyak pengikut kakek Karman yang telah kembali ke desa itu dari pelariannya bertahun-tahun silam.

Kedua makhluk itu bercerita panjang lebar. Karman menceritakan kemunafikan pacarnya yang sok jaga diri. Saat itu Karman mencoba memegang tangan pacarnya. Tapi secepat kilat ditampiklah tangan Karman seraya berkata: "Hai kita bukan suami istri ya? jangan main pegang-pegang"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun