Setiap tanggal 10 Suro (penanggalan Jawa) orang tuaku mengadakan ritual selamatan untuk arwah leluhur. Kami biasa menyebutnya kirim do'a untuk arwah leluhur. Suatu tradisi yang mengakar dan turun temurun. Sejak kecil sampai remaja ini sepertinya tak pernah sekalipun orang tuaku absen mengadakan ritual ini.Â
Supaya terbiasa, maka orang tuaku pun menjelaskan dan selalu meminta kepadaku untuk membantu ritual tersebut. Setidaknya orang tuaku berharap agar ritual ini menjadi tradisi yang tidak dilupakan saat dewasa kelak, saat aku berkeluarga dan menurunkannya kepada anakku. Demikian pesan orang tua yang selalu didengungkan kepada kami sebagai anak-anaknya.
Menurut silsilah keluarga, aku adalah keturunan ketujuh dari Kakek Singosasmito. Beliau seorang Adipati di sebuah kota di pulau Jawa. Silsilah yang bercabang-cabang itu tertulis rapi dalam sebuah buku lawas yang konon ditulis oleh leluhurku. Mereka juga turun temurun menjaga. Sebuah catatan penting yang sudah terpikirkan pada masa itu.
Tapi, demikianlah kehidupan. Selalu berjalan dan selalu berubah. Demikian pula tentang arti keturunan seorang bangsawan yang kini tak perlu lagi dibanggakan. Semua cukup kembali pada diri masing-masing dalam menjalani kehidupan di masanya. Tak ada gelar bangsawan di depan atau belakang namaku. Sebab kami memang bukan keluarga kerajaan. Bapakku bukan pula raja. Jadi di dalam akte maupun ijazah namaku cukup tertulis Yuwono Sasmito anak dari Surono Sasmito. Â Â
Aku juga tak paham apakah masih perlu berbangga dengan keturunan bangsawan itu? aku tak lebih sebagai seorang remaja yang biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa pada diriku selain pandai mengerjakan soal matematika. Kehidupan normal layaknya remaja pada umumnya. Artinya aku juga berjerawat, suka kisah horor, suka menyanggah dan mulai coba-coba ingin merasakan jatuh cinta pada lawan jenis.
Satu hal lagi, mungkin sering dialami oleh remaja lainnya, aku sangat malas jika disuruh-suruh. "Aduh malas banget pokoknya!". Apalagi dalam ritual ini. Kukira acara seperti selamatan ini cukup dikerjakan oleh ibu-ibu tetangga saja. Sedangkan aku sebisanya saja, misal menyapu, mengeluarkan kursi dan meja tamu di teras. Lalu, menggelar karpet dan balik ke kamar lagi.
Sebenarnya aku masuk ke kamar bukan untuk tidur, tapi hanya menghindari keriuhan saja. Di ruang tengah dan dapur suara ibu-ibu tetangga yang membantu saling sahut disertasi candaan. Entah apa yang mereka bahas, berisik saja.Â
Selain itu, ada suara penggorengan yang silih berganti. "Sreeeennnggg....." terciumlah aroma bawang merah goreng yang gurih. Disusul dengan bau-bau masakan lainnya yang hilir mudik di hidungku.
Kunyalakan laptop. Sambil berbaring diatas kasur, kuhabiskan sore itu di dalam kamar. Seakan tak peduli acara kirim do'a yang akan digelar nanti malam. Memutar musik dan berselancar internet menjadi hiburan. Layar laptop yang syahdu menarik perlahan kesadaranku. Aku tertidur di tengah-tengah keluarga yang sibuk menyiapkan sebuah hajat kirim do'a. Ya, aku tertidur, tengkurap.
Bukan mereka tak peduli aku, ibuku sibuk di dapur. Bapakku masih kerja, katanya menjelang maghrib sudah pulang. Kedua kakakku membantu melipat kardus nasi kotak dan mengemas jajanan. Hanya aku yang menyirami mimpi menjadi bermekaran seperti bunga di taman.
Mimpi itu membawaku pada perjumpaan dengan seorang kakek yang membawa tongkat. Aku tak mengenalnya. Aku juga tak bisa menahan langkah kakiku. Berjalan saja apa adanya. Aku mendekat dan sepertinya Kakek itu sedang mengamatiku, mungkin matanya sudah kabur melihat kedatanganku.
"Kamu Yuwono bukan?" tanya Kakek.
"Iya benar, kok Kakek tahu?"
"Aku ini Kakekmu, kamu cucuku generasi ketujuh" jelas Kakek seraya menepuk pundakku.
"Mmmm......." aku masih bingung mau menjawab apa. Semuanya diluar kendaliku.Â
"Sudahlah itu tak penting, ini ada bunga untuk Nenekmu, taburkan di makamnya sekarang juga" Kakek itu lalu memberiku bungkusan dari daun pisang. Saat kuintip, isinya bunga tabur yang biasa digunakan di makam.
"Berangkatlah sekarang, taburkan diatas makam nenekmu ya" Kakek itu mengulang pesannya.
Aku segera beranjak. Melintasi sebuah hamparan tanah lapang yang berpagar tanaman perdu. Beberapa rindang pohon memayungi langkahku. Sebenarnya tidak terasa panas, malah sedikti berkabut menurutku.. Tapi, entah mengapa aku berkeringat. Mungkin karena sedikit berlari kecil, atau saking semangatnya menjalankan perintah Kakek tadi.
Nampak di depan sana sebuah tanah dengan makam diatasnya. Nisan-nisan yang tak beraturan tinggi rendah serta beraneka bentuk itu semakin dekat. Kulihat seorang Nenek sedang mencabuti rumput lalu berdiri menyapu rumput tadi hingga hilang dari atas makam. Lalu duduk kembali dan mencabuti rumput, menyapunya. Begitu seterusnya.
"Maaf Nek, mengganggu sebentar. Kakek menyuruhku menaburkan bunga ini diatas makam Nenekku, tapi aku lupa dimana makam itu, apakah Nenek tahu?" tanyaku.
"Entahlah Cu, Nenek sendiri juga lupa dimana makam itu berada"
"Nenek tinggal disini?" selidikku.
"Ya, sementara tinggal disini sampai cucuku datang membawa bunga"
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba pandanganku seperti berputar hebat. Aku seperti masuk dalam lorong yang terang di ujungnya. Ketika sampai di ujung yang terang itu mataku terbuka. Kulihat wajah sedih Ibu. Tubuhku pun digoyang-goyang ibu.
"Tolong nak taburkan bunga ini di makam Kakek dan Nenek, biar Mas Andre nanti yang mengantar. Bapakmu belum pulang" pinta ibu.
Tanganku gemetar menerima bunga tabur yang terbungkus daun pisang itu. Sementara di telingaku semakin nyaring suara sapu lidi yang sedang disapukan ke tanah.Â
"Sreeekkk.......sreeeekkk.......sreeeeekkkk"
SINGOSARI, 26 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H