Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Epilog Rindu

24 Agustus 2020   09:20 Diperbarui: 24 Agustus 2020   09:24 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kepergianmu, aku tak mampu merawat rindu. Ia telah mengembara di bawah kaki bulan.

Kadang juga berhenti, di depan etalase kue yang menjadi kesukaanmu. Memetik bunga di taman serta mengejar kupu-kupu. Sebenarnya aku pernah mencari rindu dan memasang pengumuman di koran. Tapi, kalender usia selalu menghiburku, "Selamat ulang tahun pedih, semoga panjang perih dan berkah di sisa sayat yang ada"

"Rindu, kemana aja kamu selama ini? aku mencarimu di sela waktu, di rambu penunjuk arah dan awan-awan yang ikut menangis. Apakah dirimu sehat selalu?"

"Tok....tok....tok"

"Siapa itu?"

"Aku, Rindu"

Kubuka pintu hatiku. Rupanya kau sudah beranak pinak. Rabutmu juga mulai beruban.

"Aku hendak menitipkan dua anakku disini" kata rindu.

"Oh begitu? yang ini ya? siapa namamu nak?"

"Namaku hening"

"Kalau kamu?"

"Namaku lelah, tapi aku tak mau tinggal disini, dia aja"

"Oh nggak apa-apa, siapa namamu?"

"Namaku angan"

Kedua anak rindu itu kurawat hingga tumbuh besar. Kuberi makan roti, minum susu, makan sayuran, buah dan madu. Kumasukkan sekolah yang mengajarkan cita-cita. Kuajak ke pasar yang menjual aneka rayuan. Kemana saja, termasuk ke pasar loak, tempat kenangan dipoles kekinian.

Jika hari libur, kuajak anak rindu pergi wisata. Naik gunung pengharapan. Naik rangkaian kereta api mimpi, dan tentu juga pergi ke pantai keteguhan. Nampak kedua anak rindu asyik bermain pasir dengan senja

Sedangkan aku, masih bercengkerama dengan ombak yang terus mendekap kakiku, seakan tak rela pergi. Tapi, petang seperti cemburu. Ia marah-marah meluapkan gelap. Bahkan pintu malam ditutupnya dengan keras, "Jedarrrr!"

"Baiklah ombak, sebaiknya aku pulang sekarang. Mungkin juga kalender usia menungguku di rumah. Dialah yang merawatku selama ini.

Kukemasi semua barang. Kami harus pulang. Sebotol air mata menjadi bekal perjalanan. Siapa tahu dahaga tergolek di sudut mata. 

Tiba di rumah aku langsung membersihkan tubuhku dari belukar riwayat. Merias diri di depan cermin yang selalu menegurku "Kau tak pantas memakai baju hitam, tubuhmu terlalu kurus seperti tak pernah makan-makanan berbahagia"

"Uhuk.....uhuk" tiba-tiba kudengar suara batuk yang berat dibalik pintu.

"Kau siapa?" tanyaku dari dalam ruang tengah nurani.

"Aku sabar, ibu dari hening dan angan"

"Mau apa?"

"Mau mengajak pulang kedua anakku, bapaknya telah mati tadi pagi"

Pipiku basah. Dadaku sesak. Aku tak sanggup lagi merawat kegelisahan ini. Kuambil kotak epilog dan kumasukkan seluruh elegi ini.

Kuserahkan sekotak epilog ini kepada penyair yang sudi mengabadikannya dalam sajak. Semoga menjadi warisan bak prasasti yang bisa dibaca kapan saja.


SINGOSARI, 24 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun