Tubuh secangkir kopi itu masih panas. Ia terlahir dari senja yang mengejan kenangan sekuat tenaga. Sementara petang sebagai ayahnya hanya mondar-mandir memanggul cemas. Tentu kehadiran secangkir kopi ini menjadi harapan banyak orang.
Pada suatu detik, secangkir kopi telah lahir di dunia. Tali pusarnya mengepul meliuk-liuk. Petang sudah tak sabar segera menimang dan mengenakannya baju malam.
Orang-orang bersyukur dan turut berdoa, "Semoga kelak secangkir kopi ini menjadi anak yang berbakti pada cerita dan kenangan."
Aku pun turut bahagia, mencoba menimang secangkir kopi saat pagi telah usai memandikannya, memberinya bedak dan minyak kayu putih.
"Kau pantas punya anak, sebaiknya segera kawin," saran pagi kepadaku.
Aku pun bergegas menciumi secangkir kopi seperti anakku sendiri, "Semoga segera ketularan," pekikku dalam hati.
SINGOSARI, 6 AGUSTUS 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H