Sebelum malam mengetuk kamarku, beberapa kertas masih berserakan dimeja. Mataku lengket, ampas kopi telah menjadi lumpur liat di sudut pandangku.
Banyak sajak yang belum kuselesaikan. Misalnya tentang sekolah era baru, "Apakah perlu sepatu baru?" Kata bapak, di era baru seperti ini sales sepatu hanya menggerutu di pintu toko yang menjual sepi di Sabtu Minggu.Â
Sajak berikutnya tentang guru yang bertamu kepada muridnya. "Permisi muridku, apakah perlu buku baru?" Kata bapak, di era baru seperti ini lembaran sedih masih terus ditulis oleh tinta kecemasan. Kelihatannya kita akan mencatat kewaspadaan serta mencoret mimpi yang sedianya diberi warna.
"Tok, tok, tok..." ketuk malam di pintu kamarku. "Apakah anak bapak perlu tas, seragam, bolpoin dan penggaris?"Â Bapak terdiam ketakutan. Ia tak menggubris malam. Segera dikuncinya seluruh saku celana. Digemboknya saku baju. Lalu dijerumuskanlah dompetnya kedalam jurang saku terdalam. Lampu masa depan dimatikan.Â
Aksara gelap dalam sajakku berloncatan. Ia temui malam dan diajaknya ngobrol hingga larut. "Gedung sekolah ini unik ya?, mengapa juga harus ditempeli stiker keluarga miskin. Apakah karena tidak bisa belajar daring?" tanya aksara. Malam tak menjawab. Mulutnya komat-kamit menghitung nilai raport yang diangsur 36 kali di rentenir. "Pilih SPP atau beras tahu tempe ya?" gumam ibu di dapur ikut mengutuk malam.
SINGOSARI, 17 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H