Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tas Sosialita

9 Juli 2020   22:02 Diperbarui: 10 Juli 2020   06:44 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi  ini sebuah undangan sosialita tergeletak di meja kerjaku. Meskipun sebagai pegawai baru di perusahaan ini sejatinya aku enggan ikut kegiatan sosialita. Bukan karena tak mampu dalam hal keuangan, tapi pesan Mas Doni yang selalu kujaga. "Kalau nanti diterima di perusahaan itu, kamu jangan ikut arus, sebab disana cari uang gampang, tapi kalau tidak terkontrol sama juga bohong, ingat ada sahabatku juga disana"

Memang aku masuk di perusahaan ini dengan alasan simpel, daripada ijazah S2 nganggur, lebih baik buat kerja. Kebetulan perusahaan ini memerlukan manajer keuangan yang telah meninggal beberapa waktu lalu. Kebetulannya lagi pemilik perusahaan adalah sahabat dekat Mas Doni. Namanya Wawan.

Undangan sosialita itu kuraih, dan perlahan kubuka. "Gimana mbak, ikut ya? Asyik kok, daripada bengong sendirian, gabung aja nggak ribet. Dijamin seru." seorang pegawai tiba-tiba nyerocos di belakangku seraya menepuk-nepuk pundakku.

"Oh ya, namaku Ayu, aku manajer pemasaran. Kata bos Wawan ada manajer keuangan baru, makanya aku kesini sekalian meletakkan undangan itu. Oh ya, mbak namanya siapa?" tanya pegawai itu yang mengaku bernama Ayu. Ia pun menjulurkan tangannya untuk berkenalan denganku.
"Aku Wiwik, panggil saja Wiwik, nggak usah pakai mbak" balasku.
"Siap, Wiwik ya. Gimana? Ikut ya?" Ayu terus mendesakku agar ikut acara sosialita itu.
"Kubaca dulu ya undangannya" sekedar basa-basiku saja untuk melegakan hatinya.
"Bener lo ya? pokoknya kamu harus ikut, pasti seru!" pungkas Ayu sambil berlalu.

Aku tak menjawab, kupikir cukup mengangguk sambil tersenyum tipis saja biar segera usai perjumpaan ini. Bukan aku tak senang, tapi ini masih proses adaptasi. Aku belum bagaimana sifat orang-orang di perusahaan ini. Manajer personalia hanya berpesan selama masa perkenalan silahkan duduk dulu di meja manajer keuangan, nanti akan diajak keliling perusahaan untuk perkenalan. Hari pertama kemarin aku sudah berkenalan dengan pegawai di divisi keuangan atau bawahanku sendiri. Sementara hari kedua ini aku akan diajak berkenalan oleh manajer personalia ke divisi pemasaran.

"Wah teman baru, silahkan Wik. Nah, ini ruang kerjaku. Mari...mari ngobrol sini dulu" sambut Ayu saat aku dan manajer personalia memasuki ruangannya.
"Rupanya kalian sudah kenalan ya, jangan diajak ngobrol dulu, Mbak Wiwik ini ngurusi gaji, ntar pada nggak gajian lo" kata manajer personalia.
"Hahahaha, bisa aja mbak Yuni ini. Wiwik ini kan masih baru mbak, harus kenalan lebih mendalam. Nanti sore aja dia sudah ikut sosialita lo mbak? ya kan Wik?" seloroh Ayu seraya mengedipkan matanya yang ganjen.

Untunglah manajer personalia segera mengajakku berpindah tempat, alasannya keburu siang dan tugas menumpuk. Tapi, sesampainya di luar ruangan Mbak Yuni menarik lenganku dan berbisik, "Mbak Wiwik mesti hati-hati ya sama si Ayu ini. Dia ini suka hura-hura, alasannya sosialitalah, pertemuanlah, arisanlah bla, bla, bla. Ada saja alasannya. Padahal divisinya lagi keteteran."

"Hemm, satu orang sudah kuketahui yang sebenarnya" batinku seraya manggut-manggut mendengar penjelasan Mbak Yuni.

Benar saja. Sore itu sebelum pulang kerja wajah Ayu sudah dihadapanku. "Gimana manajer baru? Sudah siapkan? Nggak perlu ganti baju, kita langsung cus aja" ajaknya menggebu. Belum sempat bibirku menjawab, sebuah telepon masuk. "Mas Doni, Alhamdulillah" gumamku kegirangan, sebab ini bisa menjadi alasanku untuk menolah ajakan Ayu. "Maaf suamiku menjemput, lain kali aja ya". Ayu melengos dan pergi begitu saja.

Mas Doni lebih penting bagiku. Selain suamiku, dia juga sudah menjemput di ruangan bos Wawan, sahabatnya.
"Gimana Mama, kerasan nggak disini?" tanya Mas Doni. Mendengar itu aku hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol dua ke hadapan bos Wawan. "Insya Alloh kerasan"
"Sudah kuduga, kau pasti kerasan. Disini enak kok suasananya. Saya sudah pesan sama si Yuni personalia agar memilih pegawai yang bisa dibentuk, bukan pemberontak apalagi suka ngantuk" papar bos Wawan.

Esok hari, Ayu datang lagi. Kali ini ia memamerkan sebuah tas yang baru dibelinya. "Wik, bagus nggak? Tas ini telah lama menyiksaku, aku nggak bisa tidur gara-gara tas ini" seperti biasa Ayu nyerocos begitu saja.
"Wah bagus, pasti mahal ya?" kucoba mengimbanginya.
"Ya iyalah nyonya manajer keuangan" guraunya.

Ayu terus berkata-kata meski tak banyak yang kudengar. Aku teringat pesan Mbak Yuni agar pura-pura melihat-lihat berkas atau sekedar membuka file komputer. Sebab kalau dituruti terus bisa seharian ngobrol.

"Besok ada pertemuan kecil, aku, kamu dan temanku. Kita cukup bertiga. Kita ketemuan di cafe Sosiacafe. Aku ingin mengajakmu membuat acara santunan kepada anak-anak panti asuhan" bisik Ayu tiba-tiba saat mendekatkan tubuhnya kepadaku.

Aku sedikit terkejut, "Waow, ada jiwa sosialnya juga orang ini" aku mencoba menebak-nebak dalam hatiku. Baiklah. Untuk undangan kali ini aku mengangguk sepakat. Ia tersenyum puas, dan meninggalkanku dengan berbagai tanya. "Benarkah Ayu punya sisi empati sosial?"

ESOK HARI DI SEBUAH PERTEMUAN KECIL
"Hei Wiwik, how are you? Lihat ini, tara....!! bagus nggak?" tiba-tiba Ayu sudah mengejutkanku dari belakang. Seperti hari sebelumnya ia nyerocos dan kali ini diselingi memamerkan tasnya yang mewah. "Jangan lupa nanti sore, ingat ya?" pesannya sembari meninggalkanku yang masih senyum kecut.

Sore ini aku menuruti permintaan Ayu. Mengikuti pertemuan kecil di sebuah cafe. Mas Doni yang mengantarku. Sebab Ayu beralasan mau ganti baju dan ganti tas baru. "Aduh apalagi ini, masak pertemuan kecil aja harus ganti tas baru?" pikirku keheranan.

"Baiklah kutunggu saja, pokoknya jika lebih dari setengah jam kita cabut aja Mas" kataku.
"Sabar, ditunggu aja. Aku pipis dulu ya" pinta Mas Doni ijin ke toilet.

Lima menit kemudian nampaklah batang hidung Ayu dan temannya dengan baju senada dan penuh aksesoris. Dandanan menor, bau parfum meruak, kacamata hitam dengan bingkai mata raksasa, dan yang pasti tas baru lagi.

"Hai Wiwiiiikk, ini Novi teman baru kita. Sudah lama nunggu ya? Oh kasihaan. Mana suamimu? Tadi katanya diantar si Mas tersayang ya?, cieeee..." gurau Ayu centil.

Melihat perbedaan Ayu di tempat kerja dengan saat ini aku jadi agak merinding. "Aduh orang ini waras nggak ya?"
"Nah itu suamiku" sahutku seraya menunjuk Mas Doni yang keluar dari toilet menuju ke meja kami.

"Loh, kamu kan Ayu?" kata Mas Doni. Tiba-tiba Ayu seperti salah tingkah. Wajahnya blingsatan seperti malu.
"Jadi ini Ayu yang kau ceritakan itu? Dia ini pelanggan setia Papa loh, tuh lihat tasnya, Papa banget gitu loh?" jelas Mas Doni sambil menunjuk tas yang dibawa Ayu.

"Eh iya Om, anu, ee..., mbak Wiwik ini istri Om Doni to? Saya nggak tahu, lagian jarang kelihatan di butik sih, jadi maaf ya Mbak Wiwik"

Telingaku bergetar-getar saat Ayu memanggilku dengan embel-embel "Mbak". Lebih bergetar lagi terjadi di perutku, antara menahan tawa dan menahan sakit, sebab selama ini tas yang dipakai Ayu ternyata hasil menyewa dari butik persewaan tas dan sepatu milik Mas Doni.

 

SINGOSARI, 9 Juli 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun