Malam ini kau titipkan cerita di bibirku. Kau berpesan, jangan ceritakan semua, kecuali pada kopi.
Baiklah. Kupenuhi syaratmu. Seperti sepi yang mengakar di bangku ini. Aku pun cukup mengecap secangkir kopi.
Namun, sepi terus merengek menarik lenganku. "Apakah kau tak sanggup mengeja kata?"
"Bagaimana aku sanggup? sedangkan penguasa terus menguras mimpi jelata. Mereka berebut bayangan beradu kehormatan."
"Lalu buat apa kau simpan cerita?" tanya sepi.
"Supaya ia tak meniru cerita diluar sana, yang berkata atas nama Tuhan, tapi bibir mereka membiak dusta"
Sepi tertegun menatapku mengecap kopi pahit tanpa benci, sepertinya ia ingin menititipkan gerimis padaku, meski terdengar sayup.Â
SINGOSARI, 6 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H