Sebagai mantan pekerja serabutan, Zaenal mau tak mau menerima nasib bahwa keluarganya adalah pewaris pekerja serabutan. Jika ada rejeki bisa makan, jika tidak ada rejeki maka keluarga itu merayakan kemiskinan dengan tidur-tiduran di kamar. Mereka seperti memainkan orkesta lambung yang bergantian menyuarakan nada sumbang.
Pagi ini rumah Zaenal nampak sepi. Istrinya, serta anak-anaknya sudah mulai bekerja mengais rejeki. Sekira jam sembilan pagi beberapa rombongan pegawai dari kantor desa mengunjungi rumah Zaenal.
Mereka sedang mendata keluarga tidak mampu. Pemerintah akan memberi bantuan bagi keluarga terdampak pandemi. "Ini ditempel dimana pak?"Â tanya salah satu pegawai desa saat hendak memasang stiker.
Mereka kebingungan. Tak ada tempat yang bisa untuk menempel stiker keluarga miskin. Stiker itu selalu lepas karena permukaan anyaman bambu yang tidak rata dan berdebu.Â
Akhirnya stiker itu diserahkan Zaenal. "Simpan saja pak, yang penting kami sudah mendata keluarga bapak" pesan kepala desa menentramkan Zaenal. Mendengar saran seperti itu Zaenal hanya mengangguk antara mengiyakan dan khawatir apakah nanti benar-benar menerima bantuan seperti yang disampaikan kepala desa.
"Bapak sudah sarapan?" salah satu pegawai kantor desa penasaran melihat Zaenal yang terus memegangi perutnya. Zaenal hanya menggeleng pelan dan tersenyum kecut. Ia malu mengatakan yang sebenarnya, sebab perutnya telah menjawab lebih dulu "Kreuukk....kreuuuk"
"Bapak ada saran atas program ini?"Â tanya kepala desa. Diusaplah wajah Zaenal dengan tangan kanannya. Ia bingung menjawab apa, tapi dibenaknya berputar-putar tentang apa yang dilihatnya selama ini.
"Sebenarnya kami hanya ingin bantuan seperti ini tepat sasaran. Tetangga kami ada yang mampu tapi malah dapat bantuan, sedangkan kami yang seperti ini malah tidak dapat apa-apa. Lagipula kami juga tidak tahu bagaimana bisa mendapatkan bantuan seperti itu. Untunglah bapak-bapak kesini, tahu betul kondisi kami."
SYUKURAN
Malam semakin beranjak meninggalkan senja. Istri dan anak-anak Zaenal pulang. Istri dan anak bungsu membawa sebungkus kopi dan sebungkus nasi. Burhan membawa kerupuk dan sebungkus nasi. Fitri membawa sebungkus teh dan beberapa tempe tahu.
Malam itu keluarga Zaenal bersyukur, bisa makan bersama. Mereka juga membawa cerita masing-masing secara bergiliran. Saat Zaenal mengeluarkan stiker keluarga tidak mampu, mereka sontak bahagia. Maka berpelukanlah anak manusia itu berucap syukur. "Tuhan masih bersama kita Bu" bisik Zaenal kepada istrinya.