Seekor burung mati entah apa penyebabnya. Seorang tua yang kaya lapar tak tega memakan burung itu, meski api unggun telah berjoget riang. Apalagi seteguk air baru saja mengendapkan kesedihan. Jika mau, seorang tua itu akan berpesta malam ini. Kalau kau tak percaya tanya saja pada lampu penerangan jalan. Masih tak percaya juga? tanya sana sendiri sama bulan yang mulai ditutupi mukanya.
Dipungutlah burung mati itu. Sebuah simfoni batuk menyertai degup seorang tua. Sebuah sakit klasik yang mengalun tiap malam. Semua seolah menyatu padu, mengiri pemakaman burung mati. Sebuah kantong ayam kremes menjadi kafan. Sisa saos yang menempel seperti luka berdarah-darah. Aromanya tercium kucing-kucing liar, yang suka mengeong unjuk rasa.
Seekor burung mati telah dimakamkan. Seorang tua tak punya pilihan. Seperti pancaroba, ia harus menerima kenyataan, bahwa perbedaan adalah keadaan yang harus dijalani. Kita tinggal berteduh saat hujan maupun kepanasan. Seperti memilih mati dimakamkan atau hidup melawan kelaparan.
Seekor burung telah damai matinya, arwahnya menziarahi lambung seorang tua, ditaburkannya biji-biji dari temboloknya hingga tumbuh penderitaan sampai musim hujan berikutnya.
SINGOSARI, 26 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H