"Aduh, rasanya mau menjerit sekeras-kerasnya" gumamku merasakan musim pandemi yang tak berujung ini. Kata teman-temanku semua hancur berantakan. Untunglah bosku mampu menasehati, layaknya seorang ibu yang menyadarkan anak-anaknya yang bengal.Â
"Hancur masih bisa dirangkai, jangan kau injak semua yang hancur menjadi serpihan hingga debu, selain sulit dirangkai juga keburu dibawa angin." Demikian yang selalu didengungkan sang bos saat pertemuan virtual melalui aplikasi.
Mungkin bosku layak menyandang predikat pemimpin paling sabar, meski sebenarnya perusahaan sudah genting. Untuk THR saja aku dan pegawai lain dipotong separuh.Â
Sekali lagi sang bos mengatakan "Bersyukur masih menerima separuh THR, daripada tidak sama sekali."Â Kami jadi luluh juga.Â
Mulanya kami berencana menuntut perusahaan untuk membayar penuh THR, bahkan berancang-ancang menembus Dinas Ketenagakerjaan setempat. Tapi, karena kesabaran sang bos, dan beliau juga mengalami hal yang serupa, maka kami urungkan niat.Â
Selain itu, dituntut bagaimanapun juga toh kembalinya akan ke masing-masing pegawai. Contohnya aku saja. Sebagai konsultan pemasaran, tak banyak target yang berhasil kubukukan untuk perusahaan. Klien banyak yang kosong, "Sementara jangan dulu mas, nanti saja usai pandemi."Â
Baiklah, sepertinya memang harus balik ke kantor dan menumpuk berkasku yang kucel. "Ah, mungkin tidak hanya aku saja yang bernasib demikian", hiburku sambil menikmati segelas air putih, sebab kopi dan teh sudah ditiadakan. Apalagi gula. Galon di atas dispenser pun hanya berisi udara. Jika demikian apa salahnya perusahaan untuk berhemat?
Dalam perjalanan pulang naik bus kota, pikiranku dipenuhi kata-kata, "Kota yang kau idamkan, ternyata membuat nasibmu penuh lebam. Kini kusadari, aku terlampau dibohongi oleh Kota."Â Nasib sudah terlanjur, nasi sudah seperti bubur. Siapa pula yang menyesali jika bukan aku sendiri? Apalagi jika teringat pesan almarhum Ayah, "Jeruk ini memang tak membuatmu kaya, tapi bisa menghidupi sebagai jerih payahmu sendiri."
Kini, kuingat-ingat lagi, terakhir kali kebun jeruk itu kutinggalkan memang ditumbuhi ilalang. Kakakku memilih menjadi TNI yang ditugaskan di perbatasan.
Jangan tanya kapan pulangnya. Sementara adikku ikut suaminya, karena kodrat wanita memang "rela" berpisah dengan orang tua untuk suami sekaligus "imamnya."
Berarti tinggal aku yang menggerutu. Menelantarkan kebun jeruk dengan segala kenangan rintisan dari Ayah. Mau mengandalkan Ibu yang sudah renta bersama Bibi Ijah? rasanya tak mungkin.