Setiap senja nenek mengajakku duduk di lincak (tempat duduk dari bambu yang muat tiga orang) yang teronggok di teras rumah. Sebenarnya rumah kami masih terbuat dari dinding bambu. Hadiah Kakek untuk Nenek saat masih hidup dalam pergerakan (zaman peperangan).
Kata Nenek, dulu saat zaman perjuangan sering memanjatkan do'a saat senja mengguyur. Sebab Kakek sedang berjuang di garis terdepan, sebuah pertaruhan nyawa yang berarti melepas senja. "Senja itu persinggahan akhir Cu, setelah itu gelap" kata Nenekku pada suatu senja.
"Jadi, sebelum gelap kita harus berdo'a terus agar terang ya Nek?" tanyaku.
"Bukan begitu. Kehidupan itu senantiasa datang dan pergi seperti pergantian mentari dan rembulan. Semua ada waktunya, semua ada tempatnya dan semua ada peristiwa yang mengiringi" jelas Nenek panjang lebar.
Karena saat itu aku masih remaja, kepalaku terpaksa mengangguk seolah paham. Kulirik mulut nenek terus komat-kamit seraya mengunyah sirih. Matanya yang dikelilingi keriput seperti tak lepas memandang langit.
Tinggal Bapakku yang belum bergabung dalam ritual senja ini. Biasanya Bapak duduk di sebelahku. Mungkin malu berdekatan dengan Nenek. Sebagai menantu Bapak mungkin tahu diri, tak bisa membahagiakan Ibu sebagaimana perempuan desa lainnya.
 Jika dulu Nenek melakukan ritual do'a senja untuk Kakek yang bertempur di medan laga, maka kali ini Nenek melakukan ritual untuk anaknya sendiri. Ya, anak perempuan satu-satunya dari Nenek itulah yang kini menjadi Ibuku.
Ibuku saat ini sedang berjuang di negeri surga. Negeri minyak yang kekayaannya memikat Ibu supaya aku bisa sekolah lebih tinggi. Supaya tidak meniru Bapakku yang bekerja sebagai ahli kunci.
Kendati begitu, aku selalu diajari Nenek untuk tidak pernah putus asa dan minder. Berapa upah ahli kunci? kadang sehari dapat satu pesanan saja sudah bisa untuk beli kerupuk dan ikan asin. Sedangkan beras bisa dicampur dengan nasi jagung yang ditanam sendiri di halaman belakang rumah.
"Hidup memang perjuangan Cu, dulu Kakekmu gelisah jika tertinggal kawan-kawannya berjuang di luar kota. Kakek pernah menyamar menjadi petani dan berjalan puluhan kilometer untuk melawan penjajah" kisah Nenek padaku.
"Kini kalau Ibumu bekerja di negeri orang, sama saja ia berjuang melawan penajajah, yaitu kemiskinan" imbuhnya terdengar bergetar.
"Jangan sekali-kali menghina Bapak Ibumu yang bekerja apapun, semua harus berjuang" pungkas Nenek.
Senja berjaket jingga mengisahkan sepi. Tak ada suara lagi. Aku ikut memandang langit, nampak bulan sabit masih melengkung tipis. Sebuah harapan kusampaikan pada remangnya, "Sabit, jika tiba di tanah surga, bilang ke ibuku, pulang aja, nggak usah kerja" gumamku dalam hati.
"Kamu sudah berdo'a Le?" bisik Bapak. Aku mengangguk saja. Kuseka gerimis tipis di kelopak mataku. Dadaku agak sesak. Nafas yang keluar seperti tersengal tak bisa kucegah.
"Geser dikit, Bapak juga mau berdo'a." Aku semakin rekat dengan Nenek. Mulutnya mendecap dan mengunyah sirih tanpa henti. Biasanya kami masuk kembali ke rumah sekitar jam setengah lima. Namun, kali ini agak panjang.
Sejak ada pandemi covid-19, Ibu tak bisa dihubungi. Padahal Bapak telah beli pulsa untuk menelepon Ibu. Genap tiga minggu ini belum ada kabar bagaimana kondisi Ibu di tanah surga.
Satu berita yang membuat kami sedih adalah saat Kelurahan memberi kabar bahwa semua TKW tak boleh pulang dulu. Di tahan di negara sana sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Tapi bukan masalah informasi berita itu yang membuat teriris perasaan Bapak. Kami disini semua tahu bahwa Ibu sebenarnya sedang sakit asam lambung. Kalau pas kambuh kata Ibu rasanya melilit dan panas dingin. Makan pedas tidak boleh, kuah bersantan tidak boleh, susu tidak boleh, semua makanan gorengan tidak boleh, coklat, kopi dan soda juga tidak boleh.
"Siapa yang mengawasi Ibuku? apakah yang dia makan sekarang ini? sakitkah beliau?"
Kepalaku dipenuhi tanda tanya. Semoga Ibuku baik-baik saja di negeri surga. Kami bertiga pasrah apapun yang terjadi. Mau bagaimana lagi, orang desa seperti kami siapa yang peduli?Â
"Ayo masuk, kita persiapan sembahyang maghrib" ajak Nenek seraya bangkita dari lincak (tempat duduk dari bambu untuk tiga orang).
*************
Malam memanggul gigil dari balik bukit. Dalam rumah hawanya terasa beku. Nenek terus berdo'a sepanjang Maghrib sampai dengan usai sembahyang Isya'. Tak seperti biasanya. Apalagi nafas Nenek juga naik turun tak beraturan. "Apa yang terjadi?" gumamku.
"Berdo'alah Cu, Nenek merasakan suasana mirip Kakekmu saat berjuang di Surabaya, kelopak mata Nenek berdenyut terus" bisik Nenek terbata-bata. Aku hanya berdo'a agar Ibuku pulang saja, nggak usah kerja. Pokoknya pulang.
Nenek terus komat-kamit, ia pandangi foto Kakek yang menempel di dinding. Mungkin Nenek teringat sesuatu dengan Kakek. Sebuah foto lawas berkopyah hitam dengan tatapan yang teduh. Foto itu telah ada disana sejak aku kecil. Mungkin malah sebelum aku lahir.
IBU PULANG DARI NEGERI SURGA MENUJU SURGAÂ
Dan benar, esok harinya orang dari Kelurahan menyampaikan pesan dari Kecamatan bahwa salah satu warga desa ada yang meninggal di Arab Saudi. Jenazah tidak bisa dipulangkan karena harus ditangani secara protokol covid-19. Keluarga yang takziyah atau ziarah harus menyiapkan biaya sendiri. Tapi tidak boleh sekarang, karena situasi tidak memungkinkan.
Di rumah berdinding bambu itu kami sesenggukan tak karuan. Nenek menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya berulangkali seraya berujar, "We mlebu surgo Nduk, kowe mlebu surgo Nduk, Ya Alloh, Opo salahku Ya Alloh (Kamu masuk surga Anakku, Kamu masuk surga Anakku, Ya Alloh, Apa salahku Ya Alloh)" berulangkali Nenek terus berujar seperti itu.
Bapak hanya memelukku erat. Rambutku basah oleh derai tangis Bapak. Kurekatkan telingaku ke dada Bapak yang berdegup kencang. Menghantarkan tangisku menjadi-jadi. Sampai akhirnya aku lemas, lututku layuh. Pandanganku gelap dan tak kudengar apapun.
"Le Ibuk wis nek Surgo, ewangono Mbah Putri, ewangono Bapak. Ojo Nakal, Sekolah sing pinter (Nak, Ibu sudah di Surga, bantu Nenekmu, bantu Bapak, Jangan nakal, Sekolah yang pintar)" pesan Ibuku dalam perjumpaan singkat. Ia melangkah ke sebuah tanah lapang. Ku kejar tapi kakiku berat. Entah mengapa seorang Kakek tiba-tiba menghadangku seraya tersenyum ceria.
Aku tersadar dan kulihat tetangga telah berkumpul membacakan do'a untuk Ibuku. Tapi, ada satu pemandangan yang aneh. Seseorang ikut membaca do'a di sudut ruangan, wajahnya menatapku sembari senyum ceria. Sedangkan diatas kepalanya sebuah foto menempel di dinding. Wajah orang itu mirip sekali dengan foto itu. Mirip pula yang menghadang langkahku mengejar Ibu.
SINGOSARI, 4 Mei 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H