Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ibu Sudah Pulang Bersama Kakek

4 Mei 2020   01:51 Diperbarui: 4 Mei 2020   01:49 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://wahidfoundation.org

"Kamu sudah berdo'a Le?" bisik Bapak. Aku mengangguk saja. Kuseka gerimis tipis di kelopak mataku. Dadaku agak sesak. Nafas yang keluar seperti tersengal tak bisa kucegah.

"Geser dikit, Bapak juga mau berdo'a." Aku semakin rekat dengan Nenek. Mulutnya mendecap dan mengunyah sirih tanpa henti. Biasanya kami masuk kembali ke rumah sekitar jam setengah lima. Namun, kali ini agak panjang.

Sejak ada pandemi covid-19, Ibu tak bisa dihubungi. Padahal Bapak telah beli pulsa untuk menelepon Ibu. Genap tiga minggu ini belum ada kabar bagaimana kondisi Ibu di tanah surga.

Satu berita yang membuat kami sedih adalah saat Kelurahan memberi kabar bahwa semua TKW tak boleh pulang dulu. Di tahan di negara sana sampai batas waktu yang belum ditentukan.

Tapi bukan masalah informasi berita itu yang membuat teriris perasaan Bapak. Kami disini semua tahu bahwa Ibu sebenarnya sedang sakit asam lambung. Kalau pas kambuh kata Ibu rasanya melilit dan panas dingin. Makan pedas tidak boleh, kuah bersantan tidak boleh, susu tidak boleh, semua makanan gorengan tidak boleh, coklat, kopi dan soda juga tidak boleh.

"Siapa yang mengawasi Ibuku? apakah yang dia makan sekarang ini? sakitkah beliau?"

Kepalaku dipenuhi tanda tanya. Semoga Ibuku baik-baik saja di negeri surga. Kami bertiga pasrah apapun yang terjadi. Mau bagaimana lagi, orang desa seperti kami siapa yang peduli? 

"Ayo masuk, kita persiapan sembahyang maghrib" ajak Nenek seraya bangkita dari lincak (tempat duduk dari bambu untuk tiga orang).

*************
Malam memanggul gigil dari balik bukit. Dalam rumah hawanya terasa beku. Nenek terus berdo'a sepanjang Maghrib sampai dengan usai sembahyang Isya'. Tak seperti biasanya. Apalagi nafas Nenek juga naik turun tak beraturan. "Apa yang terjadi?" gumamku.

"Berdo'alah Cu, Nenek merasakan suasana mirip Kakekmu saat berjuang di Surabaya, kelopak mata Nenek berdenyut terus" bisik Nenek terbata-bata. Aku hanya berdo'a agar Ibuku pulang saja, nggak usah kerja. Pokoknya pulang.

Nenek terus komat-kamit, ia pandangi foto Kakek yang menempel di dinding. Mungkin Nenek teringat sesuatu dengan Kakek. Sebuah foto lawas berkopyah hitam dengan tatapan yang teduh. Foto itu telah ada disana sejak aku kecil. Mungkin malah sebelum aku lahir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun