"Wow amazing, ini kamu yang nulis bro?"
"Ya kenapa?"
"Wah, wah, wah rupanya selain pustakawan nyambi juga jadi penyair ya?"
"Hehehe, ya ini semua gara-gara Kompasiana bro"
"Kompasiana?"
Diatas adalah secuil percakapan yang seringkali saya dapati ketika memberi hadiah buku kepada kolega. Mereka tak percaya saya menulis buku dan sudah terbit, ber-ISBN lagi. Mereka juga tak percaya apa yang saya tulis adalah puisi, sesuatu karya sastra yang membutuhkan perasaan untuk menghadirkan jiwa dalam puisi.
Pagi ini, saat kuberikan lagi sebuah buku puisi pada kolega yang usai mengikuti ibadah Minggu Paskah, ada sebuah guratan duka terhadap suasana perayaan paskah yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Saya mencoba menghibur bahwa Tuhan punya rencana sendiri yang terbaik, kendati sarat dengan duka dan pilu.
Lalu saya tunjukkan isi buku puisi saya yang berjudul "Telur Paskah". Nampak kolega saya tersenyum dan lega. Raut wajahnya seperti ada pembaharuan seperti semangat Paskah. Saya jabat tangannya seraya mengucap "Selamat Merayakan Minggu Paskah, semoga selalu mendapat berkat dan pembaharuan". Â
Puisi menjadi salah satu sarana untuk bersilaturahim dengan sesama anak manusia, tak memandang suku, agama, ras dan antar golongan. Puisi adalah bahasa universal yang mudah dicerna namun sarat makna. Puisi adalah bunyi dan permainan bunyi.Â
Merayakan Artikel Utama dengan semangat menulis
Pagi ini pula dalam kurun waktu beberapa bulan, akhirnya tulisan saya diapresiasi oleh tim Kompasiana dengan label Artikel Utama atau AU. Namun, ini bukan karya tulis kategori puisi yang biasa saya tulis dan unggah ke Kompasiana.Â
Sebuah tulisan tentang Gaya Hidup yang menurut saya masih sederhana, masih jauh sempurna jika dibanding dengan Kompasianers lainnya.
Mendapatkan label Artikel Utama di Kompasiana adalah kebanggaan tersendiri terhadap apresiasi karya tulis kita, sebab selain bisa dinikmati oleh pembaca secara online, tentu karya tulis tersebut akan sedikit banyak memberikan inspirasi, motivasi dan informasi tentang banyak hal.