Seorang perempuan bertopi lebar sedang menyusuri taman kota. Ia takut panas, khawatir kulitnya legam. Saat angin berhembus kencang, topi lebar itu melayang.
Ia berteriak minta tolong kepada orang-orang. Seorang anak meloncat seperti katak. Tukang sapu taman berlarian. Bahkan ibu-ibu juga ikut berburu, meninggalkan suaminya yang menggendong bayi sambil bermain catur.Â
Namun sayang, angin lebih lincah memecah kemacetan kota. Topi lebar itu terus melayang ke arah barat lenyap di ketiak senja.
Perempuan itu menangis hebat. Sambil berlari kecil ia menuju arah barat. Melupakan cintanya pada lelaki yang tak kunjung memberi tentram. Serta rindu-rindu yang menjadi ranting patah. Pikirannya ruwet seperti kabel-kabel di pinggir jalan.
Pada sebuah warung es cendol, topi lebar itu perlahan turun. Topi lebar memesan segelas es cendol. "Pak es cendolnya ya, lima ratusan, nggak pake ketan" katanya.
Akhirnya perempuan itu gembira saat menemukan topi lebar di warung es cendol. Terlihat di meja ada delapan gelas kosong sisa es cendol. "Kamu pemilik topi lebar ini?" tanya penjual es cendol. "Tolong bayar es cendolnya, lima ratusan, nggak pake ketan, ji ro lu pat mo nem pitu wolu"Â imbuh penjual es cendol.Â
SINGOSARI, 6 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H