Malam ini bukan hanya sepi. Bahkan, petang buru-buru menyimpan senja di balik bangunan tua. Hanya lampu kota yang mengapungkan kenanganku. Kemana jejak kaki di trotoar ini menyelinap? apakah mereka sedang diburu tikus-tikus? ataukah memang zaman mulai berubah? membiarkanku terus menggelandang di deretan waktu?
Di dekat taman kota, kuputar seluruh pandanganku. Kurekam seluruh sunyi yang masuk dalam telinga. Hatiku semakin bertabuh gelisah. Sejak lama aku menyusuri kota ini, namun tak sesunyi malam ini. Kudengar nafasku tersendat berselisih dengan degup. Apakah ini akhir hidupku? ada apa jalanan kota ini?
"Saatnya kita bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah." sepenggal suara yang kurekam dari sebuah rumah. Meski tak kupahami, namun lambungku mulai berontak. Akupun mendudukkan tanya di dekat semak-semak dan berdiri lemas mencari rumahku. Kuraih perjalanan menuju sebuah jembatan dengan ruang tengah yang gelap. Beberapa suara tikus menyambutku seperti biasa. Memang disinilah rumahku. Tempat aku membilas seluruh kenangan dengan aliran sungai. Serta membiarkan pintu dan jendela terbuka mengemasi kemewahan.
Jadi mulai besok aku akan menggelandang di rumah ini. Aku tak akan kemana-mana. Belajar menahan diri seraya berdo'a agar atap rumahku ramai kembali oleh lalu lalang kehidupan. Sebelum kantuk menarik mataku, kucoba hidangan makan malam berlauk mimpi, dan aku terkapar dijejali sepi.
SINGOSARI, 15 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H