Di sebuah lembar sajak, anak-anak bermain petak umpet, di sebuah tanah lapang berumput lebat. Daun-daun bersorak saat menemukan persembunyian. Buah-buah dijatuhkan oleh pohon tua sebagai hadiah. Anak-anak semakin girang memunguti buah, seperti memunguti kisah kanak-kanak yang gelak semarak. Mereka kunyah buah itu untuk bekal kehidupan mendatang.
Di sebuah lembar sajak, anak-anak memainkan seruling, di sebuah tanah lapang menggembala domba. Langit menarik lengan awan untuk melihat bulu domba yang mirip dengannya. Sehingga cuaca menjadi teduh. Sebab itulah anak-anak juga menaikkan layang-layang, untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada langit.Â
Maka, sebelum senja menutup lembaran hari ini, anak-anak berlarian ke sungai. Mereka bergegas mandi membersihkan kesalahan. Tak lupa belajar menyelami kehidupan dan mengapungkan khayalan.
Senja segera menurunkan tirai jingga. Ikan-ikan kembali menata siripnya. Sebentar lagi kunang-kunang juga berhias diri. Semua menyambut malam. Kecuali seorang penyair yang tersesat keabadian masa kecil. Ia tak mampu berteriak, meski di sebuah lembar sajaknya sendiri.
MALANG, 27 Februari 2020Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H