Aku tak ingin membasahi kerah bajumu. Apalagi tatapanmu sedang basah. Sejatinya ada keinginan untuk memeluk lehermu yang jenjang itu, namun aku khawatir besi rel kereta akan cemburu. Selama ini mereka ingin berhimpitan sebentar saja di stasiun purba yang sudah punah keramaiannya. Tapi rasanya sulit, begitu juga kebekuan-kebekuan malam ini.Â
Kau masukkan lagi tanganmu kedalam saku. Berharap ada bayang-bayang kota tujuan, walau sekepal saja. Batinmu selalu terhunus tanya yang sulit terjawab, "Mengapa bola mata lelaki itu terbawa kereta malam ini?"Â
Kereta tak juga melaju, tatapanmu menjadi kelu. Tak sengaja aku turut haru. Semakin tebal tubuhku hinggap di jendela kereta. Kau usap supaya bisa melihat gigil di luar, tapi aku sigap menepi dan kembali lagi meraba jejak telapak tanganmu. Â
Jangan kau sesali perjalanan ini, nanti ada saatnya jendela akan tertembus sinar mentari. Begitupun aku akan menjelma menjadi embun di ujung mawar. Menuntaskan kisah yang terpisah, antara malam dan pagi. Semoga usai perjalanan ini, kau tak lagi menyeka aku lagi, sebab aku ingin menutupi jendela rumahmu agar kau tuntas menyulut cintamu.
MALANG, 26 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H