Diamlah kawanku, dengarkan saja palu yang diketok keras-keras di meja persidangan. Di depan hukum kita semua sama, meskipun kau pencuri cinta, pendusta rindu atau menilap kasih sayang. Kau akan tetap memikul vonis yang sama.
Serius, kau jangan berisik kawanku, sembunyikan saja tanyamu, ini tentang vonis yang sama dengan kemarin. Vonis yang tak perlu kau artikan. Selalu begitu saat sidang kemarin, lusa atau besok ketika terdakwa membatu diukir cemas.
Nanti malam saat jeruji besi mulai dibuka, akan kutunjukkan rupa vonis. Meski dalam gulita, kau akan terbiasa merabanya. Kita terlanjur tahu tentang vonis. Bahkan kita hafal seribu bait kata pembelaan, sehingga sejuta keadilan harus dikubur. Setelah do'a, kita tinggalkan persidangan menuju gulita masing-masing.
Esok, mereka akan menggelar lagi sidang yang sama, kepada hukum kita dipandang sama, tapi dalam pertemuan itu kita tak berarti apa-apa, kita sama-sama kembali menekuni gulita jeruji dan mata yang terbuat dari milyaran uang dalam koper.
SINGOSARI, 23 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H