Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bayi Laki-Laki Yati

4 Februari 2020   22:31 Diperbarui: 4 Februari 2020   22:52 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada pilihan hidup di dunia ini selain menjalani dan terus berusaha. Tak perlu disesali atau bahkan mengakhiri hidup dengan berbagai alasan. Seperti Yati, perempuan berkulit coklat yang lahir dari seorang pembantu rumah tangga dan bapaknya sebagai kuli bangunan. 

Yati tak pernah menuntut mengapa ia dilahirkan oleh Suratmi, seorang mantan pesinden yang telah lama tidak manggung karena ki dalang Wasis meninggal dunia. Sehingga tak ada penerusnya dan mendadak berhenti begitu saja. Hal ini berpengaruh pada rejeki Suratmi, tiba-tiba saja ia seperti dicekik, digorok, dan dibungkam. Seluruh aliran rejeki seperti tersumbat berbulan-bulan.

Tapi untunglah ada Karman, sang suami yang setia mencarikan pekerjaan serabutan untuk istrinya itu. Meskipun sekedar pembantu rumah tangga paruh waktu, tapi lumayan ada pemasukan. "Ya mau gimana lagi, daripada bengong di rumah mas, mending kerja serabutan, yang penting dapat uang" jelas Karman ketika diinterogasi oleh calon juragan istrinya.

"Jadi kerja apa saja mau ya pak, ya cuci, ngepel, nyapu, cuci piring, gitu ya pak?" tanya calon juragan. Percakapan singkat itu hanya berbuah kesepakatan bahwa sekali datang Suratmi akan bekerja mulai jam enam pagi hingga jam tiga sore. "Lima puluh ribu sehari mau ya pak" tegas calon juragan. Karman sebenarnya berat mengiyakan upah yang akan diterima istrinya, mengingat Yati semakin besar, dan tentu harus ditinggal seharian di rumah. Namun, jika ditolak, sudah pasti seisi rumah akan kesulitan bertahan. Pilihannya hanya puasa atau mencium bau masakan tetangga.

Bagi Karman dan Suratmi hidup terbatas sudah terbiasa, tapi bagaimana dengan Yati buah hati satu-satunya? masak harus ikut-ikutan menanggung kemiskinan orang tuanya? "Ah, biar kita saja bu yang puasa, kalau Yati jangan, aku nggak tega" bisik Karman pada suatu sore. 

Maka, ketika calon juragan itu sudah menawarkan upah lima puluh ribu rupiah per hari, Karman dengan terpaksa menganggukkan kepala tanda sepakat. "Besok pagi kasih tahu istrimu, jam enam pagi harus sudah tiba disini, cuci piring dulu, menyapu terus mengepel lantai" tukas calon juragan mengakhiri kesepakatan kerja.

------- **** ------

Suratmi menjalani pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga paruh waktu. Juragannya seorang keturunan asing yang bekerja di perwakilan perusahaan asing pula. Rumah mewah yang ditempati juragannya seperti kuburan di pagi hingga sore hari. Bagaimana tidak, rumah besar dengan tiga kamar itu hanya ditempati seorang diri oleh lelaki yang belum berumah tangga. Padahal usianya sudah 35 tahun, sebuah usia yang matang kalau di Indonesia.

Untuk mengusir sepi, kadangkala Suratmi mengajak Yati ikut bekerja di siang hari. Sekalian mengajari anaknya untuk mengetahui bagaimana susahnya mencari uang. Mengajari tidak manja, dan tentunya mumpung juragan tidak ada di rumah. Namun Yati hanya membantu ibunya saat sepulang dari sekolah. Sekitar jam dua siang hingga jam tiga sore.

Seperti hari ini, Yati ikut membantu mengangkat jemuran sekaligus menyetrika. Tak sadar menjelang jam empat sore saat juragan datang Yati masih sibuk menyeterika. Suratmi sebagai ibunya juga lupa untuk menyuruh Yati pulang. 

Akhirnya juragan benar-benar datang. Suratmi kebingungan, antara segera berlari membuka pagar atau memberitahu Yati untuk pulang. "Aduh gimana bu, kepalang basah, ya sudah nanti Yati mengaku saja membantu ibu." Akhirnya Suratmi bergegas menuju pagar dan segera membukakan pagar agar mobil juragan segera masuk garasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun