Senja yang melepaskan lelah, mendung mengejarnya dari utara. Kota gerimis kelabu. Nampak orang-orang terbungkus jas hujan mendahului dekap tangan bertubuh gigil. Datang dan pergi selalu berselisih dengan cepat. Saling mendahului.
Beberapa gerutu menghangatkan amarah pejalan kaki. Mungkin ia terlambat pulang. Sedangkan, anak-anaknya sudah duduk rapi di depan teh panas buatan ibunya.
Begitu juga tatapan cemas saat melihat gentengnya bocor. Sedangkan semangkuk bubur hangat siap beradu mulut dengan gigi yang tanggal. Sudah lama kakek meninggal dunia. Kini, hanya nenek sendiri yang menemui kumpulan derita di ruang tengah.
Aku masih di sini, di depan pertokoan sepatu bermerk. Berteduh sambil memandangi sepatuku yang basah, seraya menahan lambungku yang ingin muntah. Sebab ujung jempol kaki terlihat kasar membanting pintu sepatu.Â
Terkadang rasa syukur datang tiba-tiba. Jika pun pergi malah tak kau hiraukan dirinya, sementara ia telah pamit berkali-kali. Nanti, setelah hujan dikalahkan petang, segeralah bertaubat. Syukuri segala nikmat, meski hanya sebutir hujan pekat.
MALANG, 3 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H