Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Pesawat Kertas di Awan

31 Januari 2020   17:59 Diperbarui: 1 Februari 2020   06:48 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa kecilku selalu meracik imajinasi menjadi santapan berkesan. Kami bersantap dengan menjulurkan jabat tangan perkenalan. Apa kau masih ingat dengan malu-malu mengucap nama sendiri? Kupikir, tak ada yang dibanggakan selain punya teman bermain. Seperti mentari yang mengintip di sela-sela awan, ia mengajakku bermain petak umpet. Lalu, kulipat-lipat kertas menjadi pesawat yang menembus awan. "Mentari!!, kena kau." aku senang menemukan mentari dari persembunyiannya. Aku selalu menang dalam permainan itu. 

Saat kemarau menjadi sebuah bola bundar, aku dan kawan-kawan memadatkan dedaunan dan rumput. Cukup diikat dengan tali persahabatan kami berkompetisi menciptakan gol-gol dengan selebrasi telanjang dada. Anehnya, terkadang musim hujan memanggil-manggil dari balik bukit. Rupanya hujan tak sabar ingin bermain lumpur dengan kami. Maka bisa ditebak, saat pulang kupingku dijewer lagi. Sebab kaos bututku berlumpur. Meski rasa sakit hinggap di kuping, semenit kemudian pelangi membawa rasa sakit lenyap di awan. Kulambaikan tangan padanya, "Warnai pesawat kertasku ya!".

Imajinasiku mulai terkotak-kotak saat gawai menumbuhkan dewasaku. Gawai bukan dari kertas atau kardus bekas, aku tak pernah membuatnya. Tapi, ia terus memaksa jemariku mendiami sunyi. Perkenalan-perkenalan maya serasa indah dalam mimpi dengan mata terbuka. Mentari pun datang dan pergi tanpa kuhiraukan lagi. Terserah dia mau mengajak bermain apa, aku sudah tak bisa bangkit, merangkak, dan menggapai masa kecilku. Tumpukan kertas teronggok kosong, imajinasiku hampa.

Saat hujan ribut mengumpulkan air bah, aku menjaga acuh. Begitu kemarau memanggang mataku dengan pedih, layar gawai justru terus-menerus melepas ikatan persahabatan. Aku cukup menulis pesan duka mengiringi satu-persatu temanku menuju awan. Aku tak perlu menghadiri pemakaman, menjenguk sakit, menghadiri pernikahan dan merayakan kelahiran. Imajinasiku mengering. Ingatan masa kecil sudah tak mengeluarkan mata air. Rekahan demi rekahan menganga, mentari marah. Memanggang dedaunan dan rumput, pesawat kertas tersangkut di awan. Pesawat kertas itu hangus terbakar, tak bisa dipadamkan dengan segala imajinasiku.

SINGOSARI, 31 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun