Ibu itu terus menyemai ingatan di kepalanya, raut wajah putranya tumbuh memutih diantara uban. Setiap Kamis, ia sodorkan tanya pada zaman yang alpa. Pada penguasa negeri yang telah membekukan gelisahnya.
Payung hitam itu membayang rindu saat terik, dan terus meneteskan airmata saat gerimis. Tapi, ia tak letih merapikan selembar demi
selembar harapan, pada pagar istana yang membingkai kelopak matanya. Jika hari itu bergeming jawab lagi, ia kemasi seluruh kepedihan dan disodorkan lagi kepada Tuhan sampai Kamis mendatang.
Orang-orang terus bersiasat, kenangan dihamburkan serampangan, siapa lawan dan siapa kawan menjadikan ibu terus merawat ketegaran hati sebagai buah hatinya. "Tuhan, apakah tak ada waktu bagi ibu itu untuk sekedar mencuci kaos kaki putranya?"Â batinku seperti ikut bertanya pada kuasa Tuhan.
Sebersit jawab Tuhan lewat lorong sunyi surga, mengabarkan sebuah pohon berakar kuat telah berbuah lebat. Seperti betis ibu yang tak goyah. Memegang payung hitam dari detik menjadi bisik.
Kelak, putra itu akan menunjukkan pada ibunya. Telunjuknya mengarah pada orang-orang yang dicincang murka Tuhan di seberang pagar yang terbuat dari api neraka. Saat itu ibu itu bertanya, "Mereka itu siapa Nak?"
"Mereka semua pernah membungkam mulutku, dan mencoret semua sejarahku dari tanya yang hilang jawaban, seperti aku yang telah lama hilang, sebab itulah ibu begitu tegar menjaga kehilangan" balas putra itu.Â
Hingga kini putra itu terus membuka pintu surga, tanganya menopang tubuh ibunya bersama fajar dan senja bergantian dari natal ke natal berikutnya, dibantu jutaan malaikat.
SINGOSARI, 19 Desember 2019
Selamat Hari Ibu, masih ada Ibu yang tegar di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H