Puisi-puisiku memang belum jadi, rumah kita memang tak berakar, selalu goyang diterpa hinaan. Kamar kita juga begitu buas dipenuhi alang-alang, menjadikan mimpi kita lebih liar. Sebab banyak mimpi yang dibeli dalam terang cahaya. Secara adil, setampan apapun kita jika miskin tetap sia-sia. Takutnya, malah rumah kita roboh menimpa puisi-puisiku.
Dalam dapur yang sempit ini, atap dapur suka bermain hujan. Oleh sebab itu, puisiku selalu basah. Tak terbaca panas. Aksaranya sering menyelinap diantara jabat tangan dingin, serta amplop-amplop berisi panas. Toh, mereka juga tak mau menerima amplop basah. Secara adil, amplop basah berisi air mata, sedangkan amplop panas berisi kertas-kertas yang melemaskan. Jadi tidak perlu tegang-tegang.
Akhirnya kuajak kau di tanah lapang, di halaman rumah kita. Itu pun jika kita punya halaman. Kita tak pandai berhitung. Hanya bisa memetik bintang suka-suka, membiak jadi kata-kata. Siapa yang peduli dengan bintang? mereka hanya tahu bahwa bintang adalah uang. Secara adil uang itu menyinari mata, sedang kata-kata bisa saja mendidih dan tumpah menimpa jantung.
Nah, sekarang silahkan pilih, apakah kau ingin menyelesaikan puisimu? atau dibuang saja bersama-sama. Mumpung ada sungai yang arusnya membuat keram tubuhmu, serta tatapan mata bodoh tentang kemiskinan. Penegak keadilan tak paham tentang puisi kemiskinan. Tapi yakinlah bahwa pasal-pasal keadilan itu dibuat dari puisi kehidupan. Supaya puisimu hidup dan miskinmu mati.Â
Malang, 22 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H