Mohon tunggu...
Omri L Toruan
Omri L Toruan Mohon Tunggu... Freelancer - Tak Bisa ke Lain Hati

@omri_toruan|berpihak kepada kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mungkinkah Indonesia Bubar karena Puisi?

4 April 2018   00:12 Diperbarui: 4 April 2018   02:50 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Ilustrasi: Google Books

Seperti Pidato Prabowo beberapa waktu yang lalu  yang memprediksi Indonesia bakal bubar, saya pikir tidak usah menunggu hingga 2030, bisa jadi Indonesia akan bubar lebih cepat.  Bagaimana tidak, dalam menyikapi sebuah puisi pun kita bisa sedemikian heboh tak karuan. Dan luar biasanya, tanggapan dan komentar sudah melebar ke segala arah merembet dan menyerempet ke mana-mana hingga Pilres dan Presiden Jokowi. 

Bisa jadi Prabowo benar, Indonesia akan segera  bubar, dan mungkin saja terlalu lama kalau kita harus menunggu hingga 2030.

Meskipun Sukmawati dalam kapasitasnya sebagai seorang budayawati sudah mengklarifikasi makna dari puisi yang diciptakannya,  namun mereka yang terlanjur merasa "sakit" memilih tetap sakit dan menolak sembuh.

Hal ini terlihat dari ngototnya mereka memaksakan  tafsir tunggal atas puisi tersebut, tidak peduli apa yang menjadi tafsir pihak lain. Persetan dengan pesan dan paparan realita nyata yang hendak disampaikan si penulis  lewat puisinya. "Kami sudah disakiti, Titik!"

"Lebih parah dari kasus Ahok", begitu kata sebagian orang yang sedemikian "tersakiti" oleh tajamnya tusukan konde puisinya Sukmawati. Tidak sedikit, bahkan ada yang sudah sampai di level "ternista" akibat penyimpulan makna absolute bahwa suara azan dan alunan merdu kidung ibu adalah tabu untuk dibandingkan. Tentu bukan hal itu yang hendak diperbandingkan si penulis sebagaimana telah klarifikasi oleh yang bersangkutan kemudian.

Kalau dalam menyikapi puisi saja kita harus  seragam rasa dan makna, untuk apa kita mengaku ber-bhinneka?

Entahlah bila rasa bisa dikalibrasi. Jika tidak, ini tentu  sangat berbahaya, karena banyak hal bisa menjadi pembuat rasa. Dari bumbu dan penyedap, sangat bisa mencipta rasa. Belum lagi sugesti, provokasi, tentu sangat bisa membangkitkan rasa. Dan yang namanya rasa, meski dicedok dari kuali yang sama, namun ketika  sampai di lidah yang berbeda,  belum tentu akan tetap satu rasa.

Terlalu berbahaya jika rasa tidak terkalibrasi, dan setiap orang merasa berhak menjadi penentu rasa termasuk untuk lidah orang lain.

Akibatnya, ada orang yang  begitu mudahnya merasa tersinggung, terzholimi, ternista oleh sesuatu hal yang bagi orang lain sama sekali tidak demikian. Beginilah jadinya jika tidak ada ukuran, tidak ada tolok ukur untuk sesuatu hal bisa dikategorikan menista. Ukurannya apa, siapa yang menentukan, dasarnya apa, semestinya harus jelas. Sehingga tidak ada yang dirugikan akibat subyektifitas rasa .

Siapa saja bisa menjadi korban dari subyektifitas jika tolok ukurnya tidak jelas. Istilah penistaan akan menjadi momok yang sangat menakutkan, yang kapan saja bisa dimainkan guna  membungkam seseorang atau sekelompok orang, dan ini sangat tidak adil.

Jadi, bila kalibrasi rasa belum bisa dilakukan, sudah semestinya diadakan  tolok ukur yang menjadi standar guna menguji jika sesuatu hal patut dianggap sudah melewati batas rasa yang bisa ditoleransi sehingga seseorang atau sekelompok orang kemudian pantas dan layak untuk tersinggung dan merasa ternista.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun