Tidak ada yang menyangka sebelumnya, bagaimana bisa sampai sedemikian hebatnya aksi dan reaksi (sebagian) umat Islam atas tuduhan penistaan agama oleh Ahok. Situasi yang berkembang belakangan ini tak ayal dan kelihatannya juga mulai berhasil memaksa Ahok untuk berubah.
Dalam  acara Mata Najwa yang ditayangkan pada tanggal 26 November 2016, Ahok pun kembali mengucapkan permintaan maaf. Ia mengatakan bahwa semuanya ( gaduh ) ini gara-gara ucapannya yang dianggap telah melukai perasaan umat Islam secara umum di Indonesia. Akibatnya, sebagian masyarakat sudah mencap Ahok telah menistakan agama.
Sangat mungkin, bila Ahok sama sekali tidak pernah menduga reaksi massa akan semassif ini. Dan juga, bukan hanya Ahok, publik juga sangat tidak menyangka bahwa pernyataan Ahok akan mendapat reaksi yang sedemikian hebat. Entahlah, bagaimana bisa mereka sedemikian tersinggung dengan ucapan Ahok, Sangat tidak masuk di akal memang!
Namun, sebagaimana anjuran Presiden Jokowi dan juga Kapolri untuk menyerahkan kasus ini pada proses hukum, biarlah nanti proses hukum yang menentukan seperti apa akhir dari kisruh ini.
Bila kita mencermati perkembangan kasus ini, setidaknya, ada dua kelompok yang menyesalkan pernyataan Ahok di Pulau Seribu. Kelompok pertama ialah: mereka yang dengan tulus mendukung Ahok dan mengapresiasi kinerjanya, yang juga berkeinginan kuat supaya Ahok melanjutkan jabatan gubernur. Andai Ahok tidak off side dengan menyinggung ayat Al Maidah, tentu urusannya tidak akan kusut  seperti sekarang ini. Demikian juga dengan peluang Ahok untuk terpilih kembali, tentu akan sangat besar.Â
Kelompok yang satunya lagi ialah mereka yang menyesalkan perkataan Ahok, namun berusaha mengambil untung dari kejadian ini. Memang, perkataan mereka menyebut sangat menyesalkan Ahok telah menyinggung ayat Al Maidah di Pulau Seribu. Namun, sebenarnya mereka mensyukuri apa yang dilakukan Ahok. Karena dengan demikian, mereka mendapatkan celah untuk merontokkan  simpati masyarakat kepada Ahok. Sekaligus mendapatkan energi baru untuk bisa menggolkan agenda mereka, melengserkan Ahok yang belum membuahkan hasil sebelumnya.
Kelompok ini justru mengeksploitasi  pernyataan Ahok guna memancing ketersinggungan umat dengan skala yang lebih besar. Dan memang, kelompok ini sejak awal sudah membenci Ahok. Tanpa kejadian di Pulau Seribu pun, kelompok ini akan terus mencari upaya untuk bisa menghentikan Ahok.
Dengan tampilnya dua pasang calon sebagai pesaing Ahok di kontestasi Pilkada DKI, kelompok ini pun mendapat sekutu baru. Mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama, lalu tampil bahu-membahu mengeksplotasi tuduhan penistaan agama dengan tujuan bersama untuk bisa sesegera mungkin menyingkirkan Ahok. Dengan demikian, tidak berlebihan bila peristiwa di Pulau Seribu sebenarnya hanyalah sumbu yang mempertemukan kepentingan mereka yang benci Ahok dan kelompok yang mengingini kursi Ahok dengan melibatkan massa.
Meski proses hukum sudah berjalan, kelompok ini sama sekali tidak puas, bahkan ada yang menyebut proses hukum yang dijalankan oleh pemerintah  sudah terlambat.  Sangat jelas terlihat, adanya upaya untuk menekan aparat penegak hukum dengan dalih mengawal proses hukum. Dengan dalih mengawal proses hukum, mereka sebenarnya menuntut agar  hasil akhirnya nanti bisa seperti yang mereka inginkan, yakni Ahok dipenjara, sehingga yang bersangkutan gagal dan tidak bisa lagi menjabat gubernur.
Walaupun mereka menyebut sangat menyayangkan pernyataan Ahok, namun mereka tidak sudi dan jujur tidak pernah memaafkan Ahok. Jika pun pengakuannya  Ahok sudah dimaafkan, itu hanya sekedar basa-basi. Bisa terlihat dari upaya mereka yang seakan  tidak henti menuntut agar Ahok segera dinyatakan bersalah dan dipenjara.
Jika demikian halnya, masih adakah gunanya Ahok meminta maaf?
Tentu tidak salah bila Ahok meminta maaf, karena harus kita akui bahwa memang ada sebagian dari saudara Muslim yang memahaminya demikian ( Ahok telah menista agama). Namun, Ahok tidak perlu menyesal dan tidak ada yang perlu disesalkan.
Andai kita bisa melihat peristiwa ini dari perspektif kebangsaan, tentu kita akan menilai kisruh ini sebagai suatu terobosan. Jarang-jarang kita menghadapi peristiwa seperti ini, dimana perhatian masyarakat di seantero Nusantara begitu antusias pada kasus ini.
Soal gaduh, tentu gaduh itu bisa saja perlu. Dengan gaduh kita akan bisa lebih memahami satu sama lain, dan tidak lagi memandang segala hal hanya berdasarkan sudut pandang dan kepentingan kita semata. Tentu dengan catatan bahwa gaduh kita haruslah beradab, tidak keterusan dan tidak sampai berdarah-darah. Ketika ada indikasi gaduhnya mulai mengarah atau sengaja akan diarahkan ke sana, maka negara harus hadir untuk mencegah gaduh yang tidak beradab itu terjadi.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada yang perlu disesalkan dari kisruh ini. Justru kisruh ini bisa membuka mata hati kita bagaimana seharusnya  kita hidup sebagai satu bangsa  dengan keberagaman yang ada di dalamnya. Kita beragam, dan tidak harus seragam dalam segala hal. Keberagaman kita diikat oleh budaya dan nilai-nilai luhur nenek moyang kita yang masih kita anut dan yang menjadi jiwa dari Pancasila dengan UUD 45 sebagai konstitusi dasar kita dalam berbangsa dan bernegara.
Sebagai suatu bangsa, kita hidup bersama dengan anak bangsa lainnya yang juga memiliki hak politk yang sama di republik ini. Sehingga, tidak bisa atas dasar beda suku dan keyakinan maka sekelompok oragn harus diperlakukan dengan tidak adil, dan ruang mereka untuk tampil di panggung politik dihambat dengan dalil  keyakinan sekelompok anak bangsa yang lain.
Kesepakatan Bapak bangsa kita  tidak seperti itu, dan konstitusi kita juga tidak mengenal aturan-aturan lain yang mengikat yang semestinya hanya berlaku di ranah privat. Dan sangat keliru bila aturan demikian hendak dipaksa-berlakukan, karena sangat menciderai rasa keadilan bagian lain dari anak bangsa ini.
Kisruh Ahok hendaknya kita pandang sebagai pintu masuk untuk pencerahan bangsa ini. Dengan adanya silang pendapat dan gaduh kali ini, maka masyarakat kita terbuka untuk mendengar pemahaman lain dari yang biasanya mereka terima selama ini, yakni pemahaman satu arah yakni dari ulama- dan pemuka agama yang biasa mereka dengar.
Lewat kisruh ini, masyarakat kita  menjadi cerdas dan kritis untuk menilai dan memahami suatu pendapat, termasuk pendapat keagamaan yang bisa saja sebelumnya dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya mutlak benar, padahal kita sangat tahu bahwa manusia itu tidak sempurna dan sangat bisa khilaf, termasuk pemahaman ulama dan pemuka agama, terlebih jika diboncengi kepentingan seperti momentum pilkada seperti saat ini.
Oleh karena itu, kita seharusnya tidak perlu menuntut Ahok untuk berubah. Kita tidak perlu menyesali apa yang sudah terjadi, termasuk apa yang telah diucapkan oleh Ahok. Kita tidak perlu menangisi Ahok karena telah mengucapkan perkataannya di Pulau Seribu. Justru kita perlu menangisi diri kita dan bangsa kita, sebab untuk kitalah Ahok melakukan semua itu. Untuk kita sebagai bangsa yang besar, yang sudah pasti tidak mudah menjaga dan memeliharanya agar tetap utuh dan tidak terpecah-pecah.
Keliru bila Ahok harus berubah. Ahok tetaplah Ahok, tidak perlu menjadi orang lain yang bukan dirinya. Aksi massa dan tekanan dalam bentuk apapun semestinya tidak harus mengubah Ahok. Ia harus tetap menjadi dirinya, sebagaimana Ahok yang kita kenal. Jika tidak, sama saja kita telah kehilangan Ahok, dan kita tidak menghendaki itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H