Mohon tunggu...
Omri L Toruan
Omri L Toruan Mohon Tunggu... Freelancer - Tak Bisa ke Lain Hati

@omri_toruan|berpihak kepada kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Haruskah Kita Kehilangan Ahok?

5 Desember 2016   21:51 Diperbarui: 5 Desember 2016   22:50 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: merdeka.com

Tentu tidak salah bila Ahok meminta maaf, karena harus kita akui bahwa memang ada sebagian dari saudara Muslim yang memahaminya demikian ( Ahok telah menista agama). Namun, Ahok tidak perlu menyesal dan tidak ada yang perlu disesalkan.

Andai kita bisa melihat peristiwa ini dari perspektif kebangsaan, tentu kita akan menilai kisruh ini sebagai suatu terobosan. Jarang-jarang kita menghadapi peristiwa seperti ini, dimana perhatian masyarakat di seantero Nusantara begitu antusias pada kasus ini.

Soal gaduh, tentu gaduh itu bisa saja perlu. Dengan gaduh kita akan bisa lebih memahami satu sama lain, dan tidak lagi memandang segala hal hanya berdasarkan sudut pandang dan kepentingan kita semata. Tentu dengan catatan bahwa gaduh kita haruslah beradab, tidak keterusan dan tidak sampai berdarah-darah. Ketika ada indikasi gaduhnya mulai mengarah atau sengaja akan diarahkan ke sana, maka negara harus hadir untuk mencegah gaduh yang tidak beradab itu terjadi.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada yang perlu disesalkan dari kisruh ini. Justru kisruh ini bisa membuka mata hati kita bagaimana seharusnya  kita hidup sebagai satu bangsa  dengan keberagaman yang ada di dalamnya. Kita beragam, dan tidak harus seragam dalam segala hal. Keberagaman kita diikat oleh budaya dan nilai-nilai luhur nenek moyang kita yang masih kita anut dan yang menjadi jiwa dari Pancasila dengan UUD 45 sebagai konstitusi dasar kita dalam berbangsa dan bernegara.

Sebagai suatu bangsa, kita hidup bersama dengan anak bangsa lainnya yang juga memiliki hak politk yang sama di republik ini. Sehingga, tidak bisa atas dasar beda suku dan keyakinan maka sekelompok oragn harus diperlakukan dengan tidak adil, dan ruang mereka untuk tampil di panggung politik dihambat dengan dalil  keyakinan sekelompok anak bangsa yang lain.

Kesepakatan Bapak bangsa kita  tidak seperti itu, dan konstitusi kita juga tidak mengenal aturan-aturan lain yang mengikat yang semestinya hanya berlaku di ranah privat. Dan sangat keliru bila aturan demikian hendak dipaksa-berlakukan, karena sangat menciderai rasa keadilan bagian lain dari anak bangsa ini.

Kisruh Ahok hendaknya kita pandang sebagai pintu masuk untuk pencerahan bangsa ini. Dengan adanya silang pendapat dan gaduh kali ini, maka masyarakat kita terbuka untuk mendengar pemahaman lain dari yang biasanya mereka terima selama ini, yakni pemahaman satu arah yakni dari ulama- dan pemuka agama yang biasa mereka dengar.

Lewat kisruh ini, masyarakat kita  menjadi cerdas dan kritis untuk menilai dan memahami suatu pendapat, termasuk pendapat keagamaan yang bisa saja sebelumnya dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya mutlak benar, padahal kita sangat tahu bahwa manusia itu tidak sempurna dan sangat bisa khilaf, termasuk pemahaman ulama dan pemuka agama, terlebih jika diboncengi kepentingan seperti momentum pilkada seperti saat ini.

Oleh karena itu, kita seharusnya tidak perlu menuntut Ahok untuk berubah. Kita tidak perlu menyesali apa yang sudah terjadi, termasuk apa yang telah diucapkan oleh Ahok. Kita tidak perlu menangisi Ahok karena telah mengucapkan perkataannya di Pulau Seribu. Justru kita perlu menangisi diri kita dan bangsa kita, sebab untuk kitalah Ahok melakukan semua itu. Untuk kita sebagai bangsa yang besar, yang sudah pasti tidak mudah menjaga dan memeliharanya agar tetap utuh dan tidak terpecah-pecah.

Keliru bila Ahok harus berubah. Ahok tetaplah Ahok, tidak perlu menjadi orang lain yang bukan dirinya. Aksi massa dan tekanan dalam bentuk apapun semestinya tidak harus mengubah Ahok. Ia harus tetap menjadi dirinya, sebagaimana Ahok yang kita kenal. Jika tidak, sama saja kita telah kehilangan Ahok, dan kita tidak menghendaki itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun