Bisa jadi, anda sebelumnya sudah membaca pesan  Whatsapp Mantan ketua Umum PP Muhamadiyah, Buya Syafii Maarif tentang kegaduhan yang saat ini sedang terjadi  karena Ahok.  Bagi yang belum, tidak apa, berikut saya kutip untuk anda:
"Gejala Ahok adalah gejala kegagalan parpol Muslim melahirkan pemimpin, tapi tidak mau mengakui kegagalan ini. Selama tidak jujur dalam bersikap, jangan berharap kita bisa menang.
Saya tidak membela Ahok. Yang saya prihatinkan, gara-gara seorang Ahok, energi bangsa terkuras habis. Anda harus mampu membaca masalah bangsa ini secara jernih, tidak dengan emosi. Selamat berfikir."
Di kalimat terakhir pesannya, Buya mengajak kita berpikir. Tentu hal ini sangat menarik, sampai-sampai beliau harus meminta dan mengajak kita berpikir, kenapa?
Bisa jadi, banyak dari antara kita yang sudah tidak mau, dan juga tidak lagi bisa berpikir. Dan tentu ini akan sangat berbahaya. Ketika kita sudah tidak lagi berpikir, maka sesungguhnya kita telah kehilangan kendali atas diri kita. Dan bisa saja itu berarti bahwa kita juga telah kehilangan diri kita, atau dengan kata lain kita sudah tidak ada.
Jika demikian, lalu siapa sebenarnya yang mengendalikan kita?
Tentulah mereka-mereka yang mau, sudah, dan sedang berpikir untuk kita. Dan pada akhirnya, merekalah yang memiliki kontrol atas kita. Merekalah sesungguhnya yang mengendalikan kita dengan pikirannya. Hal itu bisa terjadi karena mereka berpikir, sementara kita tidak.
Sampai level tertentu, bisa jadi hal ini tidak menjadi masalah serius, ketika kepada siapa - kita mempercayakan atau meletakkan pikiran kita - bisa, dan jujur saat berpikir untuk kita tentunya. Namun, tidak sedikit pula yang nyata-nyata  tidak jujur, bahkan sesat dalam berpikir. Ini tentu menjadi masalah. Bukan hanya bagi kita, akan tetapi juga bagi orang lain, yang akan ikut terkena imbas dari pikiran orang-orang yang tidak jujur dan sesat pikir itu.
Dalam pesannya, Buya Maarif menyampaikan pengamatannya tentang kegagalan parpol Muslim dalam melahirkan pemimpin, khususnya dalam konteks Pilkada DKI. Hal ini ditandai dengan munculnya Ahok sebagai pemimpin, dan juga kemungkinannya yang sedemikian besar untuk memimpin kembali lima tahun ke depan.
Kemungkinan akan terpilihnya Ahok ini bisa terbaca dari kalimat Buya: " jangan berharap kita menang." Dan ironinya, kita terus berharap akan menang. Bisa terlihat dari kalimat Buya sebelumnya: " selama kita tidak jujur dalam bersikap." Artinya, parpol Muslim ( dalam konteks Pilkada DKI) sebenarnya sudah gagal melahirkan pemimpin, namun masih berharap akan menang. Inilah sikap yang tidak jujur menurut Buya.
Dalam kerangka berpikir Buya, jika umat Muslim ( Jakarta) menghendaki pemimpin Muslim, maka terlebih dahulu harus melahirkan kader atau calon pemimpin Muslim. Dan ketika itu gagal dilakukan, maka jika ada pemimpin non Muslim yang tampil, Â itu adalah keniscayaan, dan mau tidak mau harus diterima.
Di sinilah letak persoalannya menurut Buya, ketika ( ada sebagian) umat Muslim  tidak mau menerima kenyataan bahwa DKI harus dipimpin oleh Ahok yang non Muslim. Lalu, beranggapan bahwa masalahnya ada pada Ahok, bukan pada mereka yang memang nyata-nyata belum berhasil menghasilkan pemimpin Muslim bagi ibukota.
Dan calon yang sekarang ada dan mereka dukung, ternyata juga sangat meragukan. Fakta inilah yang dicoba ingkari dengan menguras energi bagaimana caranya untuk bisa 'menjatuhkan' Ahok, sambil berharap calon yang mereka dukung pada akhirnya bisa menang dengan ikutsertanya mereka beramai-ramai "menghajar" Ahok sebelum bertarung di Pilkada. Bahkan sampai pada imajinasi bahwa calon mereka bisa menang dengan WO.Â
Buya tampaknya tidak senang dengan cara seperti ini, dan juga tidak berarti bahwa Buya sedang membela Ahok. Buya tentu ikut prihatin dengan kegaduhan yang terjadi hanya karena seorang Ahok, yang mana semestinya tidak perlu. Bagi Buya, masalah ini sebenarnya sederhana, namun dibuat mejadi rumit ketika kejujuran diabaikan. Â
Situasi bertambah rumit karena kesengajaan dari pihak-pihak tertentu, yang dengan sengaja membuat kasus Ahok ini lebih rumit. Dengan cara demikian, ia ( Ahok) akan kehilangan banyak kesempatan untuk tetap menjadi pilihan warga. Ketika "pesonanya" disamarkan, bahkan ditutupi dengan bayang-bayang ketidakjujuran sehingga menjadi bias, dan diharapkan bias itu akan berdampak signifikan bagi kemenangan calon yang mereka dukung.
Pesan Buya di atas tidak hanya ditujukan kepada elit parpol Muslim dan ulama yang tampaknya sedang berkolaborasi dalam kisruh ini. Buya sepertinya tidak lagi banyak berharap dengan mereka, walau tidak dengan semua elit parpol dan ulama tentunya.
Penekanan justru dialamatkan kepada umat kebanyakan dengan ajakan untuk berpikir. Dengan berpikir, maka umat akan mengerti apa sesungguhnya yang terjadi. Tidak latah untuk ikut-ikutan apa kata elit, yang dalam perspektif Buya belum tentu jujur dalam berpikir dalam kisruh ini.Â
Jika saja umat mau berpikir, maka persoalan bangsa ini akan sangat jelas kelihatan, dan itu sudah pasti bukan anatara Ahok dan umat Muslim. Namun, ketika umat tidak mau berpikir, dan justru mempasrahkan persoalan ini kepada "juru-pikir", maka dengan sendirinya energi mereka akan habis terkuras. Emosi dan absennya kejernihan dalam melihat persoalan hanya akan membuat bangsa ini lelah.
Dengan kendali ada pada juru pikir, yang sudah pasti konteks berpikirnya hanya mengutamakan kepentingannya semata, bangsa ini sama sekali tidak mendapat apa-apa dengan aksi ini. Kecuali terwujudnya hasrat mereka yang sudah menggenggam dan mengendalikan massa dengan logika berpikir yang sudah berhasil mereka tanamkan di pikiran orang-orang yang tidak mau dan tidak lagi bisa berpikir.
Mereka sesungguhnya tidak ada dalam kisruh ini, yang ada hanyalah mereka yang sudah mengendalikan pikiran mereka. Dan karenanya, mereka pun akan begitu saja melakukan dan mengamini apa pun yang sudah ditanam di pikiran mereka. Ya, mereka sesungguhnya tidak ada. Pikiran mereka tidak bekerja dalam kisruh ini, dan itulah yang mengkonfirmasi ketiadaan mereka.
Andai mereka mau berpikir, mereka pasti ada. Cogito Ergo Sum, suatu ungkapan Rene Descartes, seorang filsuf Prancis yang berarti :" Aku berpikir maka aku ada." Hanya ketika aku berpikirlah maka aku ada, dan keberadaanku terkonfirmasi oleh buah pikiranku, yakni keyakinanku dan itu menjadi bukti bahwa aku memang ada.
Seperti kata Descartes, selagi masih ada, kita harus berpikir. Sama halnya dengan pesan Whatsapp Buya Syafii Maarif yang sangat menghargai keberadaan kita dari kalimat penutupnya yang menyebut "selamat". Beliau mengucapkan Selamat, karena beliau masih percaya kita bisa berpikir, dan mau berpikir tentunya.Â
Dengan berpikirlah maka kita ada, oleh sebab itu berpikirlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H