Mohon tunggu...
Omri L Toruan
Omri L Toruan Mohon Tunggu... Freelancer - Tak Bisa ke Lain Hati

@omri_toruan|berpihak kepada kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Ahok, Ujian Keteguhan Hati Presiden Jokowi

11 November 2016   13:38 Diperbarui: 11 November 2016   15:23 4485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang bertanya," Untuk apa Presiden Jokowi mengambil resiko dengan "melindungi" Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama?" Apalagi dengan perkembangan yang saat ini, isunya sepertinya semakin ramai,  bukan lagi soal Ahok dan kontestasi  Pilkada DKI. Bahkan lebih jauh, kasus ini seakan-akan sudah menjadi persoalan antara umat Islam dengan Ahok. Bahkan, ada indikasi  kisruh ini mulai melebar kemana-mana dengan sengaja membenturkan Presiden Jokowi dengan Wapres, dengan Panglima TNI, dan mungkin juga akan merembet ke pihak-pihak lain, untuk kemudian dibenturkan dengan presiden sebagai pressure, sehingga pada akhirnya presiden mengalah dan bersedia "mengorbankan" Ahok seperti keinginan massa pendemo.

Persoalannya tentu  tidak sesederhana yang terlihat di permukaan, meskipun kelihatannya bahwa kasus ini akan selesai jika Ahok dinyatakan bersalah dan dijadikan tersangka, lalu masuk penjara. Tentu tidak sesederhana itu. Andai demikian, sangat mungkin Presiden Jokowi akan meminta Ahok "mundur" dari proses pencalonannya untuk menjadi gubernur DKI, lalu memberikannya posisi yang lain. Apalagi, (menurut penilaian saya) Ahok juga bukanlah orang yang berambisi agar bisa tetap menjadi gubernur.

Di balik kasus ini sebenarnya ada persoalan besar yang tersembunyi, dan itu menyangkut konstitusi, kebhinnekaan, NKRI, dan hukum juga  tentunya. Dan sangat terlihat bahwa Presiden Jokowi sangat berhati-hati dalam menangani kasus ini supaya tidak salah langkah.

Biila kita mau jujur menilai kasus ini seperti apa,  jauh sebelum kejadian di Pulau Seribu, kelompok-kelompok penolak Ahok ini sudah berkali-kali melakukan aksi demonstrasi menolak Ahok. Dan sangat naif bila kita menafikan korelasinya, karena pesertanya adalah mereka-mereka juga. Dari aksi penolakan terhadap Ahok ketika hendak dilantik menjadi Gubernur DKI, Deklarasi gubernur tandingan, Desakan kepada KPK untuk mentersangkakan Ahok dalam kasus pembelian lahan Sumber Waras, Risalah Istiqlal, hingga demo 14 Oktober, pesertanya tidak lain dari FPI, HTI,FUI, GMJ, ditambah belakangan ini dengan pemilik kepentingan politik yang memanfaatkan kasus ini demi tujuan politik mereka dengan memanfaatkan ketersinggungan dan ketidaktahuan massa.

Kelompok ini memang dari dulunya sudah menolak Ahok, apa pun kasusnya. Ditambah dengan hadirnya kepentingan politik di Pilkada DKI, sudah pasti hal tersebut membuat gaung penolakan terhadap Ahok bergema semakin kencang dan lebih terkoordinir, karena mendapat tambahan amunisi baru dari mereka yang bersembunyi di balik demo ini.

Lalu, apakah kita masih bisa menyebut tuntutan mereka kali ini benar-benar murni demi hukum dan keadilan? 

Saya sangat tidak sependapat. Dan presiden Jokowi juga saya kira  sepakat dengan Buya Syafii Maarif, yang dengan tegas menyatakan bahwa pernyataan Ahok sama sekali tidak menista agama. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Presiden Jokowi untuk memenuhi tuntutan para pendemo, kecuali jika beliau mau "cari selamat" dengan jalan yang kelihatannya mudah dan murah, yakni "mengorbankan' seorang Ahok guna memenuhi rasa 'keadilan" dari mereka-mereka yang memang sejak dulu sudah menolak Ahok dan tidak rela bila DKI dipimpin olehnya.

Siapa yang menjamin bahwa kasus ini  akan berhenti sampai di situ?

Tentu tidak ada, karena kasus ini bila kita jeli melihatnya bisa menjadi satu jebakan berbahaya bagi Presiden Jokowi. Bila salah melangkah kali ini, maka di masa yang akan datang ia akan berhadapan dengan persoalan yang muatannya sama, bahkan dengan skala yang lebih rumit dan berbahaya. Dan bila kali ini keputusannya salah, sangat bisa hal tersebut nantinya akan menjadi jerat baginya, dan ia tidak bisa lagi memutuskan sesuatu yang lain. 

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah semestinyalah setiap kita berpijak kepada konstitusi sebagai aturan main, bukan yang lain. Dan sudah semestinya, kita harus bisa menempatkan urusan keyakinan di ranah privat, dan tidak begitu mudah menariknya ke wilayah publik, yang mana hal tersebut sudah pasti akan berbenturan dengan konstitusi dan juga dengan sesama anak bangsa lainnya. Padahal, kita merupakan anak bangsa yang memiliki hak yang sama di negeri ini tanpa terkecuali apapun keyakinan kita masing-masing. 

Seruan menolak pemimpin kafir, Risalah Istiqlal dan seruan bernada sejenis semestinya tidak digunakan dalam kehidupan bernegara, karena sangat jelas hal tersebut mengusik rasa keadilan sesama anak bangsa yang lain, yang berbeda pemahaman dengan kita. Inilah sebenarnya yang menjadi sumber kegaduhan di bangsa kita. Dan seringkali kita menutup mata dengan aksi sekelompok orang yang tidak henti-hentinya menyuarakan sesuatu hal yang sifatnya sangat prinsip, seakan-akan dasar negara dan konstitusi kita belum final.

Dan memang, kasus Ahok ini bukan perkara mudah bagi Presiden Jokowi. Apalagi sudah terlihat jejak-jejak pemecah belah ikut bermain. Pernyataan seperti kalimat pembuka artikel ini misalnya, kita sangat bisa melihat adanya jebakan di sana. Bagaimana supaya Presiden Jokowi terpancing untuk mengambil jalan pintas dengan "mengorbankan" Ahok guna meredam tuntutan massa. Demikian juga pernyataan A.M. Fatwa yang menulis surat terbuka kepada Presiden Jokowi dengan mengatasnamakan massa  bahwa tidak ada masalah umat Islam dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, namun berbeda dengan Presiden Jokowi yang katanya "dicurigai" berupaya melidungi Ahok.

Belum lagi godaan yang sengaja ditiupkan kepada Panglima TNI untuk "membayangkan" kursi presiden. Pernyataan Ketua MPR/Ketum PAN serta Wakil ketua DPR Fadli Zon dan sejawatnya Fahri Hamzah  yang memperbolehkan pendemo menginap di gedung MPR/DPR, ini merupakan jebakan-jebakan berbahaya. Begitu juga dengan opini yang sedang dikembangkan yakni: "bangsa ini gaduh hanya karena seorang Ahok." Padahal bukan Ahok yang membuat bangsa kita gaduh, namun sikap kita dalam  berbangsalah yang membuat gaduh, sehingga bisa dengan mudah terprovokasi oleh kepentingan yang ikut bermain di kisruh ini.

Dan tentu, masih ada lagi  banyak  jebakan yang dibuat untuk dapat mengecoh Presiden Jokowi. Namun, saya termasuk orang yang tidak pernah berkecil hati dengan keteguhan hati seorang Presiden Jokowi. Dan justru saya melihat kasus ini sebagai blessing in disguise bagi bangsa kita, dimana akan tumbuh sikap kebangsaan yang benar dan tidak lagi terjebak dengan dikotomi agama dan negara, mayoritas-minoritas. Kita akan melihat tumbuhnya rasa kebangsaan dan persaudaraan di antara sesama anak bangsa. Dan inilah yang menjadi modal dasar kita untuk bisa berkembang menjadi satu negara yang kuat dan sejahtera.

Tidak berlebihan, dan memang, justru saat seperti sekarang inilah negara kita memerlukan seorang presiden yang memiliki keteguhan hati. Tidak mengambil kebijakan populer, mudah, dan murah hanya untuk kemudahan dirinya semata, dengan mengorbankan sesuatu yang sifatnya prinsip yakni kebhinnekaan dan kehidupan berbangsa ke depan. 

Kita juga tahu bahwa kasus ini harus diselesaikan. Keliru bila ada yang beranggapan bahwa masalah ini akan terselesaikan oleh waktu, apalagi hanya dengan prihatin. Presiden Jokowi tentu berbeda dengan pendahulunya, dan kita boleh berharap kepada Presiden bahwa kejernihan hatinya dalam memandang persoalan ini akan mampu menghasilkan suatu keputusan yang benar tanpa mengintervensi proses hukum  tentunya. 

Tekanan massa dengan ancaman jumlah massa pendemo yang makin besar dan terus menerus dilakukan hingga lebaran kuda bukanlah sesuatu hal yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada rasa takut pada orang benar. Rasa takut hanya akan memberikan keuntungan dan kekuatan kepada pihak-pihak yang mencoba menebar ketakutan. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk kita menjadi takut.

Demokrasi juga tidak semata-mata berarti suara terbanyak, namun harus berlandaskan aturan dasar atau konstitusi, sehingga tidak bisa mengatasnamakan demokrasi lalu melakukan apa saja  yang dikehendaki. Hal itu tentu keliru. Aturan dasar atau konstitusilah yang menjadi pijakan kita berdemokrasi, bukan sebaliknya. Dan inilah yang kita harapkan bisa terwujud melalui kisruh Ahok yang terjadi saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun