Demikian juga dengan pasangan yang satunya, andai sebelumnya Sandiaga bisa diusung sebagai cawagub, maka perjalanan tidak akan begitu berliku bagi Yusril seperti sekarang ini. Entah apa alasannya, dan di menit-menit akhir, Sandiaga ternyata bersedia menjadi cawagub, yang mana sebelumnya pengambil keputusan berkeras bahwa tidak ada ceritanya bila Sandiaga maju sebagai cawagub.Â
Ketika pilihan cagub akhirnya jatuh kepada Anies Baswedan, ini juga merupakan bentuk pemutarbalikan logika. Kurang apa  elektabilitas dan kapabilitas Yusril dibanding Anies Baswedan? Belum lagi jika sejarah diputar ke 2014, maka sangat tidak pantas bila Anies Baswedan yang sebelumnya demikian lantang mendiskreditkan sosok capres yang disung Gerindra dan PKS, namun pada akhirnya akan menjadi orang yang akan mereka usung, dan bukan Yusril yang sedari awal sudah membuktikan keberpihakannya kepada capresnya Gerindra dan PKS.
Sangat jelas, tidak ada alasan politik yang kuat bagi Gerindra dan PKS mengusung Anies sebagai cagub. Demikian juga Sandiaga, yang harus merelakan posisi cagub kepada Anies Baswedan. Jangan-jangan kesepakatan ini murni demi tujuan pragmatis semata, memanfaatkan Anies Baswedan sebagai vote getter, karena sosok yang mereka punya sangat tidak meyakinkan, baik elektabilitas maupun popularitasnya.Â
Mereka berharap kepada Anies Baswedan, sekaligus memanfaatkannya guna menarik pendukung Pak Jokowi yang tidak bersedia mendukung Ahok oleh karena alasan subyektif. Dan juga terlihat, bahwa Anies bersedia untuk sepakat dengan parpol pengusungnya jika kelak terpilih akan mendengarkan apa kata mereka. Ya, ternyata ujung-ujungnya kepentingan. Jika itu sebelumnya yang mereka inginkan, tentulah Yusril bersedia mengabulkannya, namun hal itu tidak mereka singgung sebelumnya.Â
Jika sudah demikian ceritanya, apa lagi yang perlu dipusingkan? Memang  hanya paslon Ahok-Djarotlah yang murni bebas dari intervensi dan kepentingan pengusung jika kelak terpilih. Di samping karena sosok Ahok yang memang dari sononya tidak bisa diintervensi, parpol pendukungnya saat ini juga tidak memiliki agenda apapun secara ekonomi dengan mendukung Ahok.
Kisah Yusril tentu menjadi pelajaran berharga bagi warga DKI dalam menentukan pilihan di Pilkada DKI 2017. Jangan mudah mempercayai orang, apalagi parpol! Apa yang diucapkan atau dijanjikan sangat mungkin bukan berasal dari hati, hanya ucapan di bibir untuk mengelabui dan menyenangkan hati, padahal sesungguhnya niatnya hanya kepentingan ekonomi.
Kalau sudah demikian, tidak berlebihan jika pada akhinya Jakarta lebih baik Tetap Ahok. Ya, Jakarta tetap memilih Ahok, bukan yang lain, berkaca dari kisah Yusril.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H